16/09/2009
Oleh Tasrief Surungan*

Setiap tahun, umat Islam di tanah air akan selalu berhadapan dengan kemungkinan hari raya ganda sebelum solusi yang tepat dapat ditemukan. Tulisan ini mengulas akar perbedaan penetapan awal bulan, termasuk Ied Alfitri, dan peluang solusinya dari sudut tinjauan ayat-ayat Qauliyah dan Kauniyah.


Mengawali dari Definisi

Sebenarnya, landasan penetapan awal Ramadan dan idul fitri disepakati oleh semua ulama Islam, yaitu kenampakan hilal, sesuai hadits Nabi sebagai berikut: "Janganlah kalian berpuasa hingga melihat Hilal atau kalian menyempurnakan jumlah bilangan Sya'ban dan janganlah kalian berbuka (mengakhiri Ramadhan) hingga kalian melihat Hilal (awal Syawal) atau kalian meyempurnakan jumlah bilangan bulan Ramadhan." (HR. Muslim).

Masalah timbul karena kekeliruan pemahaman, yaitu anggapan bahwa hilal adalah bulan, padahal bukan. Hilal yang bentuknya menyerupai sabit di ufuk barat saat matahari terbenam pada setiap awal bulan Hijriah adalah kenampakan bulan. Jadi, bukan “bulannya”. Hilal itu, fenomena cahaya, refleksi sinar matahari oleh bulan ke bumi. Eksitensi hilal bergantung pada ada tidaknya cahaya, sedangkan bulan tidak. Hilal adalah obyek yang menempel pada bulan.

Dalam Astronomi, hilal adalah salah satu fase bulan (moon phase), yaitu fase terkecil. Fase bulan membawa banyak informasi, selain sebagai tanda waktu juga memuat informasi letak matahari setelah terbenam. Mengamati fase bulan, kita dapat membayangkan letak planet bumi di jagad raya. Fase bulan juga dapat berfungsi sebagai penunjuk arah, termasuk clue mengenai arah kiblat.

Kekeliruan memaknai hilal dari muatan hadits Nabi yang dikutip di atas menjadi akar perbedaan dalam penentuan awal bulan. Secara astronomis, penentuan posisi bulan dengat tepat memang dimungkinkan. Itu sebabnya sebagian umat Islam yang percaya bahwa cukup melalui perhitungan, kita dapat menentukan secara akurat awal bulan. Perlu dipahami, faktor ini secara ilmiah tidak cukup (insufficient) sebab posisi bulan hanya salah satu dari beberapa variabel kenampakan hilal. Kendati posisi bulan di atas ufuk menjadi prasyarat, variabel lain yaitu sudut elongasi bulan-matahari dan usia bulan setelah konjunksi (ijtimak) tetap harus diperhitungkan.

Sesungguhnya Al-Qur'an memberi definisi yang sangat akurat tentang hilal, yaitu dalam ayat berikut:"Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah hilal itu adalah tanda tanda waktu bagi manusia dan ibadah haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakngnya. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (QS 2:189)

Definisi fungsional ini menyebut hilal sebagai tanda waktu. Hal ini jelas karena hilal muncul secara berkala, sekali sebulan. Logika umum, yang disebut tanda biasanya ada gambar berupa lambang. Dengan kata lain ada kenampakan (visibility). Kuantisasi kenampakan hilal yang hanya memperhitungkan posisi jelas tidak memadai (inadequate), terlebih jika kategorinya ekstrim misalnya menganggap kelahiran bulan baru adalah kapan saja setelah konjunksi. Temuan ilmu pengetahuan mengungkapkan bahwa agar hilal dapat teramati maka posisi bulan minimal dua derajat di atas ufuk saat magrib (matahari terbenam). Aspek lain yang patut dicermati adalah letak ayat ini serumpun dengat ayat-ayat puasa. Ini mengisyaratkan bahwa hilal memang tidak dapat dipisahkan dengan penetuan awal bulan (Ramadhan) sekaligus Ied Alfitri sebagaimana juga ditekankan oleh Nabi melalui hadith di atas.

Penekanan agar tidak keliru mendefinisikan hilal masih berlanjut pada bagian berikutnya yaitu: Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakngnya. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.

Sepintas, bagian ayat ini seolah keluar dari konteks sebab tidak terkait langsung dengan topik utama, yaitu hilal. Gaya bahasa Al-Qur'an memang sangat indah, tinggi sekaligus diperuntukkan bagi kaum yang suka berfikir (ulil albab).

Secara umum, bagian ini mengandung pesan bahwa dalam membahas sesuatu harus dari “pintu masuknya”. Bukankah definisi merupakan awal dari perbincangan tentang ilmu? Allah SWT mengajari Adam AS tentang namanama juga terkait langsung dengan definisi.

Dari Definisi ke Jalan Tengah

Akar perbedaan penentuan awal bulan, termasuk Idul Fitri bukan karena perbedaan metode, tapi perbedaan menetapkan definisi. Rukyat dan hisab adalah metode. Rukyat adalah pengamatan (observasi) sedangkan hisab adalah perhitungan. Metodologi berbeda dapat memberi hasil yang sama jika dipakai di atas definisi yang disepakati. Jika definisi kenampakan hilal diperhitungkan maka penggabungan keduanya justru akan saling menguatkan, bukan melemahkan.

Ada upaya kuantisasi hilal yang secara ilmiah cukup representatif yaitu yang lazim disebut sebagai Imkanur Rukyat. Kriteria visibilitas hilal melalui cara ini memperhitungkan faktor tambahan selain posisi. Metoda gabungan ini sesungguhnya dapat dipandang sebagai jalan tengah sebab mengapdosi syarat kenampakan hilal dan memperkecil peluang hari raya ganda.

Meskipun demikian, karena fenomena hilal tidak bersifat deterministik melainkan stokastik bahkan bersifat kuantum, maka tetap diperlukan observasi. Observasi sebagai anjuran shariah merupakan unsur utama metoda ilmiah. Ilmu pengetahuan berkembang melalui jalinan erat antara teori dan observasi.

Keutuhan Umat

Sejauh ini, perbedaan hari raya sering terjadi dan sudah dianggap biasa. Umat, sebagaimana juga para cendekiawan, menyikapi perbedaan ini dengan arif. Kendati ada riyak kecil di masyrakat, tetapi insya Allah tidak akan ada gejolak sosial akibat perbedaan hari raya. Dipahami bahwa perbedaan dalam tubuh umat islam adalah rahmat. Pesan ini bernilai luhur yang menunjukkan konsistensi ajaran Islam sebagai sumber kedamaian.

Hilal sebagai sandi persatuan memang seyogyanya menyatukan umat, bukan menjadikannya retak. Hilal adalah fenomena alam yang sarat makna yang sejak awal menjadi lambang dan bendera kaum muslimin. Hilal adalah simbol tauhid sekaligus persatuan. Tidak ada sekat apalagi jurang pemisah di antara kaum muslimin. Pesan luhur dari frase "perbedaan sebagai rahmat" bersifat multidimensi. Selain sebagai bahan perekat demi menjaga keutuhan dan kesatuan umat, juga menjadi sumber inspirasi bagi perkembangan pemikiran umat.

Perbedaan adalah arena untuk mengasah ketajaman intuisi dan intelektual sekaligus kearifan. Ia menjadi kekuatan besar saat dipadu dengan perintah Alquran untuk tidak berhenti mencari kebenaran. Artinya, pada satu sisi, ketika kebenaran itu belum ditemukan, atau sudah ditemukan namum belum dipahami, atau sudah dipahami tetapi keliru, maka janganlah perbedaan pendapat itu menyebabkan keretakan. Tetaplah satu dalam ikatan keagamaan, satu dalam ukhuwah.

Keliru menyikapi pesan tadi berarti gagal memaknai ajaran islam yang paling esensial. Pada sisi lain, ketika kebenaran dapat dipersepsi, hati yang volume spritualnya melebihi alam raya harus terbuka. Jalan tengah penetuan hari raya tersedia lebar. Permasalahannya sekarang, siapkah kita membuka diri untuk memulai dari definisi yang sama dan benar? Jika tidak maka perayaan hari raya ganda akan tetap langgeng, padahal sesungguhnya umat merindukan satu hari raya.

* Penulis adalah Lektor Kepala Jurusan Fisika Universitas Hasanuddin, Makassar


Awal Ramadhan 1430 H, NU dan Pemerintah Mungkinkah Berbeda?
14/08/2009
Pelaksanaan Rukyat oleh kaum Nadhliyyin di berbagai tempat pada akhir Rajab yang bertepatan dengan Fenomena Gerhana Matahari Cincin memberikan hasil hilal tidak terlihat. Hal ini dapat mengakibatkan perbedaan antara penanggalan Hijriyyah NU yang didasarkan pada hasil rukyat dengan pemerintah dan ormas lainnya dalam mengawali tanggal 1 sya’ban 1430 H. Akankah perbedaan tersebut berimplikasi dalam mengawali dan mengakhiri Bulan Ramadhan 1430H?

Berbeda dengan penanggalan masehi yang setiap hari kita gunakan, jumlah hari dalam sistem penanggalan hijriyyah tidak tetap. Hal ini disebabkan kalender Hijriyyah yang umum digunakan saat ini didasarkan  pada siklus penampakan bulan yang mempunyai periode 29.53 hari. Sehingga dalam 1 bulan hijriyyah kadang terdiri dari 29 hari dan kadang 30 hari. Fakta alam ini sesuai dengan hadist Rasul Muhammad SAW yang mengisyaratkan bahwa 1 bulan terdiri dari 30 hari atau 29 hari.

Pelaksanaan Rukyat Awal Sya’ban 1430 H

Pelaksanaan rukyat Sya’ban sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Hal ini karena dalam sistem penanggalan hijriyyah, Sya’ban merupakan bulan ke delapan yang merupakan bulan sebelum Ramadhan. Berbeda dengan penanggalan masehi yang setiap hari kita gunakan, jumlah hari dalam sistem penanggalan hijriyyah tidak tetap. Hal ini disebabkan kalender Hijriyyah yang umum digunakan saat ini didasarkan pada siklus penampakan bulan yang mempunyai periode 29.53 hari. Sehingga dalam 1 bulan hijriyyah kadang terdiri dari 29 hari dan kadang 30 hari. Fakta alam ini sesuai dengan hadist Rasul Muhammad SAW yang mengisyaratkan bahwa 1 bulan terdiri dari 30 hari atau 29 hari.

Pelaksanaan Rukyat yang dilakukan oleh kaum Nadhliyyin dari berbagai tempat - termasuk dari Observatorium Bosscha, Lembang-  pada akhir bulan Rajab 1430 H yang bertepatan dengan tanggal 22 Juli 2009 dimana terjadi Gerhana Matahari Total menghasilkan hilal tidak terlihat. Ketidakterlihatnya hilal tersebut pada umumnya dikarenakan cuaca (baca: mendung). Pada dasarnya, sekalipun cuaca cerah tidak berawan sekalipun hilal tetap mustahil dapat dilihat sekalipun dengan menggunakan perangkat optik.

Salah satu konsekuensi dari tidak terlihatnya hilal tersebut sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW adalah istikmal, penggenapan bulan berjalan menjadi 30 hari. Dengan Istikmal tersebut maka tanggal 1 Sya’ban 1430H bertepatan dengan tanggal 24 Juli 2009. Akan tetapi, sekira mengacu pada kriteria bersama (MABIMS) maka tanggal 1 Sya’ban 1430H bertepatan dengan tanggal 21 Juli 2009. Hal ini disebabkan posisi hilal pada tanggal 29 Rajab 1430H memenuhi seluruh kriteria MABIMS yang ada. Sedangkan dalam penanggalan Hijriyyah Ormas Muhammadiyah dan Persis yang menggunakan kriteria wujudul hilal tanggal 1 Sya’ban 1430H bertepatan dengan 21 Juli 2009.

Penetapan tanggal 1 Sya’ban yang berbeda tentunya berimplikasi pada akhir bulan yang juga berbeda. Hal ini berimplikasi kemungkinan perbedaan dalam mengawali bulan berikutnya, yang dalam hal ini adalah bulan Ramadhan 1430 H. Hal ini disebabkan pelaksanaan rukyat awal bulan dilaksanakan pada tanggal 29 bulan hijriyyah berjalan.

Awal Ramadhan 1430 H

Menilik posisi hilal ketika Matahari tenggelam pada tanggal tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan rukyat mustahil dapat melihat hilal hal ini dikarenakan hilalnya belum wujud. Konjungsi terjadi pada tanggal 20 Agustus 2009 jam 18:39 WIB padahal Matahari tenggelam pada jam 17:54:44 WIB. Dalam ‘bahasa’ penanggalan hijriyyah, ijtimak terjadi pada tanggal 30 Sya’ban 1430H. Hal ini dikarenakan pergantian tanggal dalam penanggalan hijriyyah terjadi pada saat matahari tenggelam.

Sedangkan bagi yang melakukan istikmal pada bulan rajab 1430H maka rukyat hilal penentu awal Ramadhan 1430H baru dilaksanakan pada  tanggal 21 Agustus 2009. Dengan posisi hilal maka peluang untuk dapat melihat hilal sangatlah besar. Bahkan dapat dipastikan terlihat sekira tidak tertutup mendung. Dengan ketinggian di atas 10 derajat, sabit bulan dapat terlihat dengan sangat mudah sekalipun tanpa menggunakan data hisab posisi hilal sekalipun.

Bagaimana jika hilal tertutup awan sehingga tidak ada kesaksian rukyat hilal? Sebagaimana pengamatan dalam astronomi optik, mendung merupakan kendala utama dalam pelaksanaan rukyat hilal yang juga berada dalam rentang gelombang optik. Sehingga meskipun posisi hilal sudah mencukupi untuk dikenali dengan mata telanjang sekalipun, keberadaan hilal tetap mempunyai peluang tidak terlihat.

Hanya ada dua alternatif dalam kasus hilal tidak terlihat, yaitu istikmal dan masuk tanggal. Jika ditetapkan masuk tanggal maka pelaksanaan Ramadhan 1430 H akan dilaksanakan secara serentak tanpa perbedaan. Apa yang terjadi pada bulan Syawal 1430 H jika ditetapkan istikmal kembali pada penetapan awal bulan Ramadhan 1430 H?

Implikasi Pada Syawal 1430H

Dengan menetapkan istikmal kembali pada akhir sya’ban (22 Agustus 2009) menjadikan awal Ramadhan bertepatan dengan tanggal 23 Agustus 2009.  Sehingga rukyat awal syawal yang menandakan akhirnya Ramadhan dilaksanakan pada tanggal 20 September 2009. Jika melihat data posisi bulan pada tanggal tersebut maka tidak dapat dipungkiri, keberadaan hilal sangat sangat mudah untuk dikenali dengan mata telanjang sekalipun.

Namun, yang perlu dikaji kembali adalah bagaimana jika pada tanggal 19 September 2009 yang pada saat tersebut baru tanggal 28 Ramadhan 1430H terdapat kesaksian akan rukyat hilal. Hal tersebut dikarenakan ijtima’ terjadi pada tanggal 19 September 2009 -penanggalan hijriyyah pemerintah sudah menunjukkan tanggal 29 Ramadhan - serta posisi hilal ketika matahari tenggelam sudah memenuhi kriteria visibilitas hilal. Sehingga meskipun sulit, tapi tetap mempunyai peluang untuk dapat disaksikan, terlebih dengan kemampuan perukyat yang telah terlatih menggunakan perangkat optik.

Apakah kesaksian hilal pada tanggal tersebut memunyai implikasi hukum sehingga harus masuk bulan baru? Jika masuk bulan baru maka bulan Ramadhan berjalan hanya berumur 28 hari.Hal ini tentunya tidak sejalan dengan ketentuan penanggalan hijriyyah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Bagaimana mengantisipasi agar tidak terjadi satu bulan hijriyyah kurang dari 29 hari?

Batas Atas Kriteria Visibilitas

Kalender hijriyyah merupakan sebuah sistem penanggalan yang unik hal ini dikarenakan penanggalan hijriyyah tidak semata didasarkan pada fenomena alam namun juga pada sumber hukum agama Islama yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Sehingga peraturan  penanggalan yang diberlakukan harus berada dalam koridor hukum syar’i tersebut.

Diantara landasan hukum sayr’I  tersebut adalah:

1. Sistem Penanggalan didasarkan pada pergerakan matahari dan bulan (Al-Qur’an)
2. Satu Tahun terdiri dari dua belas bulan (Al-Qur’an). Hal ini dikarenakan perhitungan bulan dalam satu tahun dapat terdiri dari 12 bulan dan 13 bulan.
3. Satu bulan terdiri dari 29 atau 30 hari (Hadits)
4. Penampakan Hilal sebagai pembatas bulan (Hadits). Pelaksanaan rukyat hilal dilaksanakan setiap tanggal 29 Hijriyyah. Jika tidak terlihat maka dilakukan penggenapan 30 hari (Istikmal)

Sistem Penanggalan Hijriyyah harus mengacu pada ketentuan-ketentuan syar’i tersebut. Oleh karenanya jika sebuah tata aturan penanggalan hijriyyah mengakibatkan satu bulan berumur 28 hari maka tata aturan tersebut hendaknya  disempurnakan.

Kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat) umumnya digunakan sebagai kriteria batas bawah dimana jika ada kesaksian rukyat hilal yang tidak memenuhi kriteria imkan rukyat tersebut maka kesaksian tersebut ditolak. Bagaimana jika tidak ada kesaksian rukyat hilal ketika posisi hilal sudah berada pada posisi yang pasti terlihat haruskah melakukan istikmal?

Pada kasus posisi hilal berada pada kriteria imkan maka istikmal dapat dilakukan, akan tetapi jika hilal berada pada posisi pasti dapat dirukyat (jika tidak tertutup mendung tentunya)  maka  idealnya istikmal tidak dilakukan karena hal tersebut dapat berimplikasi pada bulan berikutnya hanya berumur 28 hari.

Oleh karenanya, perlu adanya kriteria batas atas  untuk melengkapi kriteria imkan rukyat yang sudah ada. Kriteria tersebut dapat didasarkan pada keumuman penampakan hilal yang dapat dilihat oleh masyarakat tanpa menggunakan perhitungan (hisab) dan perangkat rukyat. Nilai 10 – 12 derajat, merupakan nilai yang dapat digunakan sebagai kriteria batas atas.

Dengan menggunakan kriteria batas atas 10 derajat maka tidak perlu melakukan istikmal pada tanggal 21 Agustus 2009 sehingga awal puasa dapat dilaksanakan bersama-sama. Selamat melaksanakan Ibadah di Bulan Suci Ramadhan 1430H. Semoga menghantarkan kita kepada ketaqwaan.


Hendro Setyanto
Anggota Litbang Lajnah Falakiyah PBNU
Tambahan
Dari dulu sampai besuk hari qiyamat awal bulan romadlon dan syawal akan tetap ada dua macam ,tapi kadang kadang memang akan bersama,
kita tidak usah ribut dan repot untuk menyatukan awal bulan .tapi yang paling penting kita ummat islam harus saling menghormati hak orang lain,dan menjaga kerukunan antar golongan ummat Islam,
kalau bisa bareng bagus sekali tapi kalau ga bisa bereng ya ngagak usah  ribut dan saling menyalahkan.
 
Top