Tausyiah

*Qiyam Ramadhan** (Sholat Tarawih)
*Ditulis dari Fiqih Puasa, Dr. Yusuf Qardhawi.

Nabi saw, sangat menganjurkan umatnya agar tekun mengerjakan qiyamur
Ramadhan. Rasulullah saw pernah mengerjakan pada malam kedua atau ketiga
secara berjama'ah dengan sahabatnya, kemudian pada malam ketiga beliau tidak
hadir dimasjid karena khawatir Shalat ini dianggap wajib nantinya. Begitulah
Rasulullah saw sangat menaruh kasihan kepada kaum muslimin. Kemudian setelah
itu para sahabat mengerjakannya secara sendiri-sendiri, lalu shalat tarawih
dengan berjama'ah ini dihidupkan kembali oleh Umar dan yang bertindak
sebagai imam Ubay bin Ka'ab.

Dalam suatu riwayat Aisyah bercerita :

'Bahwa Rasulullah saw, pada waktu tengah malam di bulan Ramadhan keluar
menuju Masjid, kemudian beliau Shalat disana, maka orang-orang ramai ikut
Shalat bersama beliau. Pada pagi harinya orang-orang memperbincangkan Shalat
Rasulullah saw. maka banyaklah ahli masjid pada malam ke tiga, lalu
Rasululloh keluar dan sholat bersama mereka.ketika malam ke empat masjid
tidak dapat menampung ahlinya sehingga beliau keluar untuk sholat shubuh,
ketika selesai shubuh,beliau menghadap manusia,lalu bertsyahud dan
berkata:Adapun kemudian,tidaklah mengkhawatirkan kukedudukan kalian, akan
tetapi aku takut diwajibkan hal ini atas kalian lalu kalian tidak mampu
melaksanakannya'.

Pada riwayat lain Zuhri menambahkan: 'Rasulullah saw wafat, Sedangkan
orang-orang dalam keadaan seperti itu, demikian juga pada masa khalifah Abu
Bakar dan permulaan kekahlifahan Umar.'

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abdul Qari, katanya, 'Saya
pernah pergi bersama Umar bin Khathab di malam Ramadhan ke masjid, ternyata
orang-orang berkelompok-kelompok, bercerai berai. Ada orang yang Shalat
sendirian, lalu beberapa orang yang lain ikut dia Shalat. Maka Umar
berkata,'Aku piker, kalau orang-orang ini kukumpulkan dengan dipandu satu
imam tentu akan lebih baik, 'Kemudian ia kumpulkan mereka dan Ubay bin Ka'Ab
dijadikan sebagai imam mereka. Kemudian pada malam yang lain saya keluar
bersama Umar lagi, diwaktu orang-orang Shalat mengikuti satu imam, maka Umar
berkata, (berjama'ah begini) ini adalah sebaik-baik bid'Ah. Dan yang tidur
diantara mereka itu lebih baik daripada mengerjakannya.' Yang dimaksud
adalah yang mengerjakan di akhir malam, Sedangkan orang-orang kebanyakan
mengerjakannya diawal malam.' (HR. Bukharai dan Muslim, dalam kitab Tarawih)

Perkataan Umar:'(Berjama'ah begini) ini adalah sebaik-baik bid'ah itu
bukanlah bid'ah diniyah yang sama sekali mempunyai dasar yang kuat dari
syara'. Tetapi yang Umar maksudkan ialah bid'ah lughawi, yaitu bid'ah
Menurut pengertian bahasa. Sebab Shalat tarawih dengan berjamaah pada masa
Umar adalah perkara yang baru, begitu juga pada masa Abu Bakar.

Qiyamur Ramadhan atau Shalat tarawih dengan berjama'ah sesuai dengan
tuntunan Nabi saw. Beliau pernah mengadakan shalat tarawih secara berjamaah
dengan sahabatnya selama tiga malam di Masjid. Andaikata bukan karena
khawatir akan diwajibkannya shalat tarawih dengan berjamaah atas mereka,
niscaya beliau terus shalat berjamaah dengan mereka selama sebulan penuh.

Dengan sempurnanya agama Islam dan terputusnya wahyu, maka hilanglah rasa
khawatir itu. Adalah Umar bin Khatab, pelopor shalat tarawih berjamaah di
Masjid, yang melambangkan kesatuan langkah dan pendapat. Bahkan shalat
berjamaah dapat menggairahkan semangat, lebih-lebih bila bacaan imamnya
sangat merdu.

Oleh karena itu, jumhur ulama berpendapat: Sunah mengerjakan shalat tarawih
dengan berjamaah. Bahkan At-Thahawi, seorang tokoh mazhab Hanafiyah
menganggap wajib kifayah.

Diantara ulama salaf ada yang mengatakan bahwa shalat di rumah lebih afdhal
daripada shalat di Masjid. Maka pendapat ini untuk orang yang mengerjakan
shalat sendirian Sedangkan bacaan ayatnya sangat panjang, sehingga ia merasa
tidak puas shalat berjamaah dengan masyarakat umum.

Adapun bila didapati jamaah yang terbiasa dengan bacaan ayat-ayat panjang,
maka jelas lebih baik shalat berjamaah bersama kaum muslimin daripada shalat
sendiri. Hal ini untuk memperbanyak jumlah jamaah dan mempererat hubungan
silaturahim diantara mereka.

Oleh karena itu, sebagian ulama syafi'iyah mengatakan: barangsiapa yang
hafal Al-Qur'An, tekun mengerjakan ibadah, dan ketidakhadirannya dalam
shalat berjamaah tidak merusak semangat berjamaah dimasjid, maka baginya
shalat sendirian dengan shalat berjamaah di Masjid sama saja. Barangsiapa
yang tidak memenuhi syarat diatas, maka shalat berjamaah lebih afdhal.

Hal ini sama dengan masalah tarawih bagi kaum wanita. Bagi wanita, shalat
dirumah lebih afdhal jika mereka hafal Al-Qur'an dan tekun mengerjakan
shalat walaupun sendirian.

Adapun bila mereka mengerjakan shalat berjamaah di Masjid, mereka dapat
mendengarkan tilawah Al-Qur'An, mau'izhah hasanah (nasihat yang baik), dan
bisa bertatap muka dengan perempuan Muslimah yang lain, dan mereka bisa
mewujudkan ta'awanu 'alal birri wat-taqwa, sehinga shalat berjamaah di
Masjid terdapat banyak kebaikan.

Riwayat Bukhari yang menceritakan shalat tarawih yang dipimpin Ubay bin
Ka'ab itu tidak menyebutkan perihal jumlah raka'at. Oleh karena itu para
ulama berbeda pendapat tentang banyaknya rakaat Shalat tarawih sekaligus
dengan witirnya, apakah 11 rakaat atau 13 rakat atau 21 rakaat. Al Hafidz
Ibnu Hajar berkata, 'Ada kemungkinan khilaf ini sangat erat kaitannya dengan
panjang dan pendeknya bacaan ayat Al-Qur'an. Kalau bacaan ayatnya panjang,
maka jumlah rakaatnya sedikit, begitu sebaliknya.'

Menurut satu riwayat bahwa mereka (para sahabat) biasa membaca surat-surat
yang panjang. Bahkan diantara mereka ada yang bertelakan pada tongkat
lantaran sangat panjangnya bacaan ayatnya.

Pada pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz kaum muslimin mengerjakan
qiyamur Ramadhan sebanyak 36 rakaat dan witir 3 rakaat.

Imam Malik berkata,'Saya melihat sendiri, bahwa orang-orang di Madinah
mengerjakan shalat tarawih sebanyak 39 rakaat. Sedangkan di Makkah sebanyak
23 rakaat. Mengerjakan shalat tarawih sebanyak itu, bagi mereka bukan
masalah yang berat.'

Imam Syafi'i berkata,lagi,' Jika mereka memperlama berdirinya dan
menyedikitkan jumlah raka'atnya, maka itu baik. Sebaliknya, jika
memperbanyak jumlah rakaat dan memperpendek bacaan ayat, maka itu baik juga.
Tetapi saya pribadi lebih menyukai yang pertama.'

Sebagian ulama salaf mengerjakan sahalat tarawih 40 rakaat selain witir.'

'Dalam masalah ini', kata Imam Syafi'i 'Seseorang tidak boleh mencela orang
lain selama mengerjakannya dengan khusyu' dan thuma'ninah serta memenuhi
syarat dan rukunnya.'

Sebagai misal, mereka yang mengerjakan Shalat 11 rakaat, mengikuti Sunah
Nabi saw, sebagaimana telah ditegaskan oleh Aisyah: 'Nabi saw, tidak pernah
mengerjakan Shalat (tathawu') di bulan Ramadhan dan tidak pula dilainnya
lebih dari 11 rakaat.'(HR Bukhari)

Di riwayatkan dari Jabir, katanya:'Bahwa Rasulullah saw pernah mengerjakan
shalat berjamah dengan mereka sebanyak 8 rakaat, kemudian mengerjakan shalat
witir 3 rakaat.'

Dan barangsiapa yang mengerjakan shalat tarawih sebanyak 23 rakaat, maka hal
itu juga pernah diprakatekkan oleh para sahabat pada masa khalifah Umar
seperti yang telah diriwayatkan oleh sejumlah ulama. Sedangkan kita
diperintahkan untuk mengikuti Sunah Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyin.

Siapa yang shalat 39 atau 41 rakaat, mereka mempunyai teladan sebagaimana
yang telah diamalkan oleh Ahlul Madinah yang hidup dalam kurun wakti terbaik
itu, sebagaimana yang telah yang dikatakan oleh Imam Darul Hijrah Imam
Al-Juwaini: 'Ahlul Madinah mengamalkan ini sejak ratusan tahun yang lalu'.

Ibadah shalat adalah pokok bahasan yang paling penting. Sedangkan batasan
jumlah rakaat yang jelas dari Nabi saw tidak ada. Karena itu, tidak ada
artinya sebagian ulama mutaakhiriin memvonis menyimpang dari Sunah bagi
orang-orang yang menegrjakan shalat tarawih 20 rakaat atau mengklaim mereka
yang Shalat 8 rakaat menyimpang dari atsar ulama salaf dan khalaf.

Namun saya pribadi lebih menyukai apa yang sudah biasa dipraktekkan oleh
baginda Nabi saw, yaitu 11 rakaat dengan bacaan ayat yang panjang-panjang.
Sebab Allah swt tidak mungkin meridhai Nabi saw kecuali dalam hal yang
afdhal.

Satu hal yang harus kita jauhi yaitu pelaksanaan shalat tarawih sebanyak 20
rakat seperti banyak diprkatekkan di Masjid-masjid dengan hanya memakan
waktu kurang dari sepertiga jam. Padahal Allah swt telah berfirman,

'Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang
yang khusyu' dalam shalatnya' (Al-Mukminun:1-2)

Dalam hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dengan penuh arif bijaksana
menerangkan tentang disyariatkannya shalat tarawih dengan jumlah rakat yang
diriwayatkan diatas.

Beliau berkata,'Sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits shahih bahwa Ubay
bin Ka'ab pernah memimpin shalat tarawih sebanyak dua puluh rakaat; dengan
witir 3 rakaat. Karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa itu adalah
sunah, sebab Ubay bin Ka'ab mengerjakan ditengah-tengah kaum Muhajirin dan
Anshar. Tidak satu pun diantara mereka yang mengingkarinya. Ulama-ulama yang
lain lebih menyukai tiga puluh sembilan rakaat. Ini didasarkan pada amal
ahlul Madinah yang dahulu.

Sejumlah ulama berkata,'Sebenarnya sudah ditegaskan dalam hadits Bukhari dan
lainnya dari Aisyah, bahwa Nabi saw tidak pernah mengerjakan shalat
tathawwu' lebih dari tiga belas rakat.' Tapi ada yang menganggap hadits ini
mudhathrib, karena diduga bertentangan dengan Khulafaur Rasyidin dan
perbuatan kaum muslimin.

Yang benar, bahwa semua itu baik, sebagaimana telah ditegaskan oleh Imam
Ahmad bin Hambal, bahwa Nabi saw sendiri tidak pernah menentukan batas
rakaat qiyamur Ramadhan secara tegas. Suatu saat beliau memperbanyak jumlah
rakaat, pada saat yang lain menyedikitkannya, tergantung lama atau tidaknya
berdiri Shalat. Nabi saw memperpanjang waktu berdiri ketika mengerjakan
qiyamul lail. Dalam hadits Bukhari dari Hudzaifah diriwayatkan bahwa Nabi
saw jika mengerjakan shalat malam biasa membaca surat Al-Baqarah, An-Nisa'
dan Ali Imran. Sehingga karena waktu berdirinya sangat lama, maka beliau
tidak memperbanyak jumlah rakaat.

Tatkala Ubay bin Ka'ab mengimami mereka dalam suatu jamaah, sehingga tidak
mungkin memperlama waktu berdirinya, maka sebagai gantinya ia memperbanyak
juimlah rakaat. Sebelum kasus Ubay bin Ka'Ab terjadi, jama'ah Nabawi biasa
mengerjakan sebelas rakaat atau tiga belas rakaat. Namun setelah mereka
tidak mampu lagi berdiri lama, maka mereka memperbanyak jumlah rakaat hingga
mencapai tiga puluh sembilan rakaat.'

Sekarang timbul pertanyaan, berapa rakaat yang afdhal? Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata lagi:

'Yang Utama ada tiga macam, tapi ada yang mengerjakan 36 rakat ditambah
witir 3 rakaat. Semua ini sudah pernah diamalkan oleh kaum muslimin. Jadi,
berapa pun jumlah rakaat yang pernah dikerjakan, itu baik.

Keutamaan ini tergantung situasi dan kondisi para jamaah. Jika mereka mampu
berdiri lama, kerjakan 10 rakaat ditambah dengan witir 3 rakaat sebagaimana
yang telah diamalkan oleh Nabi saw. Ketika Shalat munfarid, baik dalam bulan
Ramadhan maupun yang lainnya. Maka inilah yang afdhal. Bila mereka tidak
mampu berdiri lama, maka kerjakan 20 rakat. Maka ini afdhal juga seperti
yang dikerjakan oleh mayoritas kaum muslimin. Kelompok kedua ini mengambil
jalan tengah antara 20 dan 40 rakaat. Jika ada kelompok jamaah mengerjakan
40 rakaat atau lebih, maka itu boleh juga. Hal ini ditegaskan oleh sejumlah
ulama, diantaranya Imam Ahmad dan yang lainnya. Siapa saja yang menyangka
bahwa jumlah rakaat qiyamur Ramadhan telah ditentukan dengan jelas oleh Nabi
saw sehingga tidak boleh ditambah atau dikurangi, maka itu sangat keliru.

Didalam kitab Fatkhul Qorib Mujib diterangkan,bahwa , Jumlah raka'at Sholat Tarawih adalah 20 raka'at  ditambah witir 3 Raka'at,jadi 23 Raka'at,barang siapa melakukan sholat Tarawih dengan 4 raka'at salam satu kali dan berjumlah 8 raka'at  maka tidak sah tarawih nya,Jika anda melakukan sholat Tarawih dengan niyat tarawih tetapi hanya 8 raka'at  Mendingan gak usah tarawih,tetapi jika anda memang sudah mantep melakukan 11 raka'at, lakukan saja terus,tetapi niyat nya saja yang harus anda rubah ,anda jangan niyat tarawih dengan 11 rekaat tetapi niyatlah sholat witir dengan 11 raka'at ,dan lakukan 2 rakat salam dan terahir kalinya  1 raka'at
 Kalau di Madinah al munawwarah {ahli Madinah} ,jumlah tarawih nya adalah 36 raka'at

 Jumlah Raka’at Shalat Tarawih Menurut Madhab Empat
10/08/2010 Ada beberapa pendapat mengenai bilangan rakaat yang dilakukan kaum muslimin pada bulan Ramadhan sebagai berikut:

1. Madzhab Hanafi

Sebagaimana dikatakan Imam Hanafi dalam kitab Fathul Qadir bahwa Disunnahkan kaum muslimin berkumpul pada bulan Ramadhan sesudah Isya’, lalu mereka shalat bersama imamnya lima Tarawih (istirahat), setiap istirahat dua salam, atau dua istirahat mereka duduk sepanjang istirahat, kemudian mereka witir (ganjil).

Walhasil, bahwa bilangan rakaatnya 20 rakaat selain witir jumlahnya 5 istirahat dan setiap istirahat dua salam dan setiap salam dua rakaat = 2 x 2 x 5 = 20 rakaat.

2. Madzhab Maliki

Dalam kitab Al-Mudawwanah al Kubro, Imam Malik berkata, Amir Mukminin mengutus utusan kepadaku dan dia ingin mengurangi Qiyam Ramadhan yang dilakukan umat di Madinah. Lalu Ibnu Qasim (perawi madzhab Malik) berkata “Tarawih itu 39 rakaat termasuk witir, 36 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir” lalu Imam Malik berkata “Maka saya melarangnya mengurangi dari itu sedikitpun”. Aku berkata kepadanya, “inilah yang kudapati orang-orang melakukannya”, yaitu perkara lama yang masih dilakukan  umat.

Dari kitab Al-muwaththa’, dari Muhammad bin Yusuf dari al-Saib bin Yazid bahwa Imam Malik berkata, “Umar bin Khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim al-Dari untuk shalat bersama umat 11 rakaat”. Dia berkata “bacaan surahnya panjang-panjang” sehingga kita terpaksa berpegangan tongkat karena lama-nya berdiri dan kita baru selesai menjelang fajar menyingsing. Melalui Yazid bin Ruman dia berkata, “Orang-orang melakukan shalat pada masa Umar bin al-Khattab di bulan Ramadhan 23 rakaat”.

Imam Malik meriwayatkan juga melalui Yazid bin Khasifah dari al-Saib bin Yazid ialah 20 rakaat. Ini dilaksanakan tanpa wiitr. Juga diriwayatkan dari Imam Malik 46 rakaat 3 witir. Inilah yang masyhur dari Imam Malik.

3. Madzhab as-Syafi’i

Imam Syafi’i menjelaskan dalam kitabnya Al-Umm, “bahwa shalat malam bulan Ramadhan itu, secara sendirian itu lebih aku sukai, dan saya melihat umat di madinah melaksanakan 39 rakaat, tetapi saya lebih suka 20 rakaat, karena itu diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab. Demikian pula umat melakukannya di makkah dan mereka witir 3 rakaat.

Lalu beliau menjelaskan dalam Syarah al-Manhaj yang menjadi pegangan pengikut Syafi’iyah di Al-Azhar al-Syarif, Kairo Mesir bahwa shalat Tarawih dilakukan 20 rakaat dengan 10 salam dan witir 3 rakaat di setiap malam Ramadhan.

4. Madzhab Hanbali

Imam Hanbali menjelaskan dalam Al-Mughni  suatu masalah, ia berkata, “shalat malam Ramadhan itu 20 rakaat, yakni shalat Tarawih”, sampai mengatakan, “yang terpilih bagi Abu Abdillah (Ahmad Muhammad bin Hanbal) mengenai Tarawih adalah 20 rakaat”.

Menurut Imam Hanbali bahwa Khalifah Umar ra, setelah kaum muslimin dikumpulkan (berjamaah) bersama Ubay bin Ka’ab, dia shalat bersama mereka 20 rakaat. Dan al-Hasan bercerita bahwa Umar mengumpulkan kaum muslimin melalui Ubay bin Ka’ab, lalu dia shalat bersama mereka 20 rakaat dan tidak memanjangkan shalat bersama mereka kecuali pada separo sisanya. Maka 10 hari terakhir Ubay tertinggal lalu shalat dirumahnya maka mereka mengatakan, “Ubay lari”, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan as-Saib bin Yazid.

Kesimpulan


Dari apa yang kami sebutkan itu kita tahu bahwa para ulama’ dalam empat madzhab sepakat bahwa bilangan Tarawih 20 rakaat. Kecuali Imam Malik karena ia mengutamakan bilangan rakaatnya 36 rakaat atau 46 rakaat. Tetapi ini khusus untuk penduduk Madinah. Adapun selain penduduk Madinah, maka ia setuju dengan mereka juga bilangan rakaatnya 20 rakaat.

Para ulama ini beralasan bahwa shahabat melakukan shalat pada masa khalifah Umar bin al-Khattab ra di bulan Ramadhan 20 rakaat atas perintah beliau. Juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih dan lain-lainnya, dan disetujui oleh para shahabat serta terdengar diantara  mereka ada yang menolak. Karenanya hal itu menjadi ijma’, dan ijma’ shahabat itu menjadi hujjah (alasan) yang pasti sebagaimana ditetapkan dalam Ushul al-Fiqh.

KH Muhaimin Zen

Ketua Umum Pengurus Pusat Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadz (JQH) NU

FASAL TENTANG SHALAT TARAWIH (1)
Pengertian Qiyamu Ramadhan
03/08/2010

Shalat Tarawih merupakan Ibadah yang unik bagi umat Islam di Indonesia, selalu  saja setiap tahun menjelang bulan Ramadhan dan dalam bulan Ramadhan menjadi bahan pembicaraan dan kajian bagi kalangan intelektual. Bahkan ada juga di kalangan masyarakat papan menengah ke bawah dan pinggiran, menjadi sumber konflik, antara jamaah satu dengan jamaah lain, antara masjid satu dengan masjid lainnya bahkan ada yang konflik antar keluarga, antara menantu dan mertua bisa terjadi retak dan bercerai gara-gara tidak sepaham dengan amaliyah yang dianutnya.

Pasalnya adalah masalah tarawih di bulan Ramadhan, ada yang mengerjakan 20 rakaat dan ada yang 8 rakaat. Masalah furuiyyah yang kental dengan khilafiyyah ini sudah lama menjadi kajian para fuqaha terdahulu dan sudah disiapkan jawabannya. Tinggal bagaimana kita bisa menyikapi permasalahan “khilafiyyah” tersebut.

Bagi mereka yang dapat memanfaatkan dan menghargai usaha dan pemikiran para fuqaha tersebut maka dapat merasakan rahmat dan nikmatnya ikhtilaf, tapi bagi mereka yang tidak mau menggunakannya maka menjadi mala petaka baginya dan umat yang dipimpinnya.

Sebenarnya permasalahan apa yang mereka ributkan itu? Permasalahnnya adalah berangkat dari hadits Nabi yang berbunyi:

عن ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: من قام رمضان ايماناواحتسابا غفرله ماتقدم من ذنبه. رواه البخاري

Barang siapa shalat pada malam Ramadhan karena iman dan semata-mata taat kepada Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Al-bukhari).

Dari hadis ini timbul perbedaan pemahaman apakah yang dimaksud من قام  itu قيام اليل  atau tarawih, maka berikut ini penulis mencoba mengemukakan pandangan para ulama sebagai berikut:

Pemahaman bahwa kegiatan shalat sunah di malam-malam Ramadhan dikatakan tarawih atau qiyamu Ramadhan adalah didasarkan sabda Nabi SAW:

عن ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: من قام رمضان ايماناواحتسابا غفرله ماتقدم من ذنبه. رواه البخاري

Barang siapa shalat pada “malam Ramadhan” karena iman dan semata-mata taat kepada Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Al-bukhari).

Kata “Tarawih” adalah jama’ dari “Tarawih” yaitu satu kali dari “Rahah” (istirahat), seperti kata “Taslimah” dari “salam”. Shalat Tarawih berjamah pada malam-malam Ramadhan  dinamakan Tarawih karena kaum muslimin pertama kali berkumpul untuk shalat itu mereka beristirahat pada setiap dua kali salam.

Arti (من قام رمضان) ialah berdiri untuk shalat pada malam-malam Ramadhan. Yang dimaksud dengan Qiyam al-Lail ialah asal berdiri yang terjadi pada malam itu, tidak disyaratkan harus mencakup seluruh malam.

Imam Nawawi berkata dalam Syarah Shahih Muslim: Yang dimaksud Qiyam Ramadhan  adalah Shalat Tarawih. Yakni bahwa dengan melakukan shalat itu, maka terpenuhilah bahwa apa yang dimaksud dari Qiyam itu, begitu juga Al-kirmani, “mereka sepakat bahwa yang dimaksud Qiyam Ramadhan adalah shalat Tarawih”.

Arti (ايمان ) ialah membenarkan bahwa Allah adalah haq dengan meyakini keutamaan-Nya. Sedang arti (احتسابا ) ialah hanya mengharapkan Allah SWT saja dan tidak menghendaki dilihat oleh manusia dan tidak pula selain itu yang bertentangan dengan ikhlas.

Pada kajian berikutnya akan dibahas mengenai jumlah rakaat dan keutamaan mengerjakan shalat tarawih secara berjamaah.

KH Muhaimin Zen
Ketua Umum Pengurus Pusat Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadz (JQH) NU

 
 
Top