November 25th 2009 by Abu Muawiah | Kirim via Email
Waktu Shalat Id
Waktu pengerjaan shalat berada di antara dua waktu larangan untuk shalat, kedua waktu tersebut adalah: Mulai dari terbitnya matahari sampai terbitnya semua bulatannya dan mulai dari matahari berada di tengah langit hingga dia tergelincir ke arah barat. Jadi waktunya adalah: Setelah semua bulatan matahari terbit sampai sebelum matahari berada di tengah langit. Ibnu Baththal sebagaimana dalam Al-Fath (2/457), Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (5/81), dan Ibnu Rusyd dalam Al-Bidayah (1/510) menyatakan tidak adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa shalat id dikerjakan di antara dua waktu terlarang. Adapun mengerjakan shalat id pada kedua waktu terlarang di atas maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, dan yang lebih utama adalah tidak shalat id pada keduanya.
Dari Abdullah bin Busr, sahabat Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bahwa beliau keluar bersama orang-orang untuk mengerjakan shalat idul fithr atau adhha, maka beliau mengingkari terlambatnya imam seraya berkata, “Dulu kami (para sahabat bersama Nabi) sudah selesai shalat (id) pada waktu seperti ini, pada waktu tasbih (shalat dhuha)” (HR. Abu Daud no. 1135, Ibnu Majah no. 1317)
Maka hadits ini jelas menunjukkan disunnahkannya mempersegera pelaksanaan shalat id, terkhusus idul adhha karena pada waktu itu adalah waktu penyembelihan udhhiyah, sementara kata udhhiyah berasal dari kata dhuha. Hewan yang disembelih dikatakan udhhiyah karena dia disembelih pada waktu dhuha. Jika penyembelihan dilakukan pada saat dhuha maka ini menunjukkan shalat idul adhha dilaksanakan sebelum waktu dhuha.

Adapun pada idul fithr maka disunnahkan untuk diundurkan agar kaum muslimin memiliki waktu yang cukup untuk bisa mengeluarkan zakat fithr mereka, yang mana waktu paling disunnahkan untuk mengeluarkan zakat fithr adalah setelah terbitnya fajar 1 syawal sampai datangnya imam memimpin shalat id. Lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab (8/461).
Imam Asy-Syafi’i berkata dalam Al-Umm (1/386), “Seseorang hendaknya keluar dari rumahnya dan sudah berada di lapangan ketika bulatan matahari sudah terbit seluruhnya, dan inilah waktu paling cepat yang dijadikan ukuran. Sementara pada idul fithr maka hendaknya dia mengundurnya sedikit -tidak banyak- sebelum itu.”

Masalah: Jika masuknya 1 syawal baru diketahui setelah tergelincirnya matahari.
Jika demikian keadaannya maka hendaknya mereka (kaum muslimin) tidak shalat id pada hari itu karena waktu pengerjaannya telah lewat, akan tetapi hendaknya mereka mengundurkannya sampai besok dan mengerjakannya pada tanggal 2 syawal. Ini berdasarkan hadits beberapa orang sahabat dimana mereka berkata, “Hilal syawal tertutupi awan sehingga kami tidak melihatnya (pada tanggal 29 ramadhan, pent.) maka kamipun tetap berpuasa di pagi harinya. Kemudian ada sekelompok orang yang datang di akhir siang lalu mereka bersaksi bahwa mereka melihat hilal syawal kemarin. Maka Nabi -alaihishshalatu wassalam- memerintahkan orang-orang untuk berbuka pada hari itu dan agar mereka keluar untuk shalat id keesokan harinya.” (Diriwayatkan oleh Imam Lima dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa`: 3/102)

Tidak ada azan dan iqamah sebelum shalat id
Dari Jabir bin Samurah dia berkata:
صَلَّيْتُ مَعَ رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم الْعِيْدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ
“Saya shalat kedua id bersama Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bukan sekali dan bukan pula dua kali, tanpa ada azan dan tidak pula iqamah.” (HR. Muslim no. 887)
Diriwayatkan juga yang semakna dengannya dari Ibnu Abbas riwayat Al-Bukhari no. 959 dan Muslim no. 886, dari Jabir riwayat Muslim (886).
Ibnu Al-Qayyim berkata dalam Zadul Ma’ad (1/442), “Jika beliau -alaihishshalatu wassalam- sudah tiba di lapangan, maka beliau langsung mengerjakan shalat tanpa ada azan, tidak pula iqamah, dan tidak pula ucapan ‘ash-shalatu jami’ah’. Yang menjadi tuntunan beliau adalah tidak mengerjakan semua itu.”
Ibnu Abdil Barr dalam Al-Istidzjar (7/12-14) dan juga Ibnu Rajab dalam Al-Fath (8/447) menukil kesepakatan ulama akan tidak adanya azan dan iqamah pada kedua shalat id.

Adakah shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat id?
Dari Ibnu Abbas dia berkata:
أَنَّ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ, لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا
“Nabi -shallallahu alaihi wasallam- melaksanakan sholat iedul fithri sebanyak dua raka’at, namun beliau tidak sholat sebelum dan sesudahnya”. (HR. Al-Bukhari no. 912,945,5544 dan Muslim no. 884)
Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath (2/476), “Kesimpulannya, tidak ada bagi shalat id shalat sunnah sebelumnya dan tidak juga setelahnya, berbeda halnya dengan orang yang mengkiaskannya dengan jum’at.”

Sifat shalat id
a.    Terdiri dari dua rakaat berdasarkan hadits Ibnu Abbas di atas.

b.    Rakaat pertama dibuka dengan takbiratul ihram -sebagaimana shalat lainnya-, setelah itu bertakbir selama 7 kali setelah itu baru membaca al-fatihah. Sementara pada rakaat kedua, setelah berdiri dari sujud sambil bertakbir (takbir intiqal/perpindahan), selanjutnya bertakbir sebanyak 5 kali.
Dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya (Abdullah bin Amr bin Al-Ash) dia berkata:
كَبَّرَ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي صَلاَةِ الْعِيْدِ: سَبْعًا فِي الْأُوْلَى ثُمَّ قَرَأَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ ثُمَّ سَجَدَ. ثُمَّ قَامَ فَكَبَّرَ خَمْسَا ثُمَّ قَرَأَ ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ ثُمَّ سَجَدَ
“Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bertakbir pada shalat id: 7 kali di rakaat pertama kemudian beliau membaca (al-fatihah dan surah), kemudian beliau bertakbir lalu ruku’, kemudian beliau sujud. Kemudian beliau berdiri lalu bertakbir sebanyak 5 kali, kemudian beliau bertakbir lalu ruku’, kemudian beliau sujud.” (HR. Abu Daud 1151, 1152, An-Nasai dalam Al-Kubra no. 1804, Ibnu Majah no. 1278, dan Ahmad: 2/180, Al-Firyabi no. 135 -dan ini lafazhnya-, dan selainnya)
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Ahmad, Ali bin Al-Madini, Al-Bukhari, sebagaimana Lihat At-Talkhish Al-Habir karya Al-Hafizh (2/171) dan juga dinyatakan hasan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` (3/108-112)
Al-Baghawi berkata dalam Syarh As-Sunnah (4/309), “Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat dan para ulama setelah mereka ….. Amalan ini diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, dan Ali.”
Catatan:
1.    Telah shahih dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau bertakbir 5 kali di rakaat pertama sebelum membaca al-fatihah dan  4 kali di rakaat kedua setelah membaca al-fatihah dan surah (sebelum ruku’). Akan tetapi Al-Baihaqi berkata setelah meriwayatkannya (3/291), “Ini hanyalah pendapat dari Abdullah bin Mas’ud, dan hadits musnad (yang bersambung secara marfu’) yang diamalkan oleh kaum muslimin itu lebih utama untuk diikuti.”
Juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas beliau bertakbir 7 kali di rakaat pertama termasuk takbiratul ihram dan 5 kali di rakaat kedua. Juga dari Ibbu Az-Zubair bahwa beliau bertakbir 4 kali di rakaat pertama dan kedua selain kedua takbir untuk ruku’. Akan tetapi komentar kita terhadapnya adalah seperti komentar Al-Baihaqi terhadap atsar Ibnu Mas’ud di atas.
2.    Dari keterangan di atas kita bisa mengetahui batilnya amalan sebagian kaum muslimin yang hanya bertakbir sekali pada rakaat pertama dan kedua (sama seperti shalat biasa), dengan dalih tidak ada hadits yang shahih dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- dalam masalah ini.
Kami katakan: Apakah kalian yang lebih paham tentang hadits dibandingkan imam ahli hadits semacam Ahmad dan Al-Bukhari?! Anggaplah tidak ada satupun hadits dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- maka mengikuti amalan para sahabat yang warid dengan sanad yang shahih, itu lebih utama daripada kalian memunculkan kaifiat shalat id sendiri.
3.    Hadits Abdullah bin Amr bin Al-Ash di atas menunjukkan ke-7 takbir di rakaat pertama dan ke-5 takbir di rakaat kedua, semuanya adalah tambahan. Maka ini sebagai sanggahan kepada orang yang bertakbir 7 kali di rakaat pertama termasuk takbiratul ihram dan 5 kali di rakaat kedua termasuk takbir berdiri dari sujud, karena kalau begitu tambahan di rakaat pertama hanya 6 dan di rakaat kedua hanya 4, karena takbiratul ihram dan takbir intiqal (berdiri dari sujud) bukanlah termasuk takbir tambahan. Walaupun ada sebagian ulama yang berpendapat dengannya akan tetapi itu adalah pendapat yang kurang kuat.

c.    Apakah ada doa istiftah dalam shalat id? Jika ada dimana tempatnya?
Tidak ada satupun hadits shahih maupun lemah yang menerangkan hal ini. Karenanya barangsiapa yang tidak istiftah karena memandang shalat itu tauqifiah (terbatas pada dalil) maka dia telah berbuat baik. Tapi barangsiapa yang membaca istiftah karena menganggap hukum asal shalat id adalah sama seperti shalat biasa (yang dimulai dengan istiftah) kecuali kalau ada dalil yang mengecualikan (seperti dalam jumlah takbir), maka itu juga tidak mengapa.
Bagi yang membaca maka dia bisa membacanya setelah takbir-takbir tambahan sebelum membaca al-fatihah, karena istiftah adalah pembuka bacaan, wallahu a’lam.

d.    Apakah kedua tangan di angkat setiap kali bertakbir?
Yang benarnya, kedua tangan tidak diangkat kecuali pada takbiratul ihram dan takbir intiqal saja. Maka pada takbir-takbir tambahan di rakaat pertama dan kedua, tidak disyariatkan untuk mengangkat tangan setiap kali bertakbir. Hal itu karena tidak ada satupun hadits yang shahih dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- dan para sahabatnya yang menyinggung masalah ini. Seandainya beliau -alaihishshalatu wassalam- dan para sahabatnya mengangkat  kedua tangan mereka setiap kali bertakbir, niscaya amalan tersebut akan dinukil dari mereka walaupun dalam satu hadits, mengingat shalat id ini dihadiri oleh banyak kaum muslimin.
Ini adalah pendapat Malik, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf, dan Ibnu Hazm. Ada beberapa hadits yang menerangkan disunnahkannya mengangkat tangan pada takbir-takbir tambahan ini, akan tetapi semuanya adalah hadits yang lemah.

e.    Tidak shahih dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- ada satupun zikir dan doa yang dibaca di pada setiap takbir. Karenanya Ibnu Al-Qayyim berkata dalam Zadul Ma’ad (1/443), “Beliau -alaihishshalatu wassalam- selalu diam sebentar di antara dua takbir (shalat id), dan tidak dihafal dari beliau adanya zikir tertentu di antara takbir-takbir tambahan.

f.    Beberapa masalah seputar takbir-takbir tambahan:
1.    Takbir-takbir tambahan ini hukumnya sunnah, sehingga tidak membatalkan shalat id walaupun ditinggalkan dengan sengaja. Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni (3/275), “Takbir-takbir tambahan serta zikir di antara keduanya (bagi yang berpendapat adanya, pent.) bukanlah wajib, sehingga shalat id tidaklah batal dengan meninggalkannya baik secara sengaja maupun lupa. Dan saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.”
2.     Jika imam lupa membaca takbir-takbir tambahan dan langsung baca al-fatihah.
Jika dia telah ruku’ maka tidak perlu dia mengulanginya karena tempatnya telah lewat. Jika dia ingat belum ruku baik sudah baca al-fatihah maupun belum, maka hendaknya dia membaca takbir-takbir tambahan lalu mengulangi bacaan (jika dia sudah mulai membaca).
3.    Jika makmum ketinggalan sebagian atau semua takbir tambahan bersama imam maka takbir-takbir tambahan itu gugur darinya. Misalnya jika dia masbuk satu rakaat dimana imam pada rakaat kedua hanya membaca 5 kali takbir, maka dia harus mengikuti imamnya dengan hanya membaca 5 kali takbir -walaupun itu baru rakaat pertama baginya- kemudian dia diam mendengarkan bacaan imam. Inilah pendapat yang lebih tepat yang ada di kalangan ulama.
4.    Jika takbir-takbir tambahan imam kurang jumlahnya, baik karena dia lupa atau karena mazhab imam berbeda dengan mazhab kita, maka hendaknya kita menambah sendiri sebelum imam dan sebaiknya sebelum imam memulai baca al-fatihah.
5.    Jika dia ragu mengenai jumlah takbirnya maka hendaknya dia memilih yang paling meyakinkan. Dan jika dia ragu apakah dia sudah takbiratul ihram atau tidak, maka dia menjadikan takbir terakhir (sebelum baca al-fatihah) sebagai takbiratul ihram.
6.    Siapa yang tidak mendengarkan suara takbir imam maka hendaknya dia bertakbir sendiri. Jika ternyata takbirnya mendahului takbir imam tanpa kesengajaan dia maka itu tidak bermasalah insya Allah.

g.    Setelah takbir-takbir tambahan, dia membaca ta’awudz, lalu membaca al-fatihah dengan jahr berdasarkan dalil umum disyariatkannya ta’awudz dan bahwa tidak ada shalat bagi yang tidak membaca al-fatihah.

h.    Pada surah setelah al-fatihah disunnahkan untuk membacanya secara jahr, dan disunnahkan untuk membaca surah Al-A’la pada rakaat pertama dan Al-Ghasyiah pada rakaat kedua, sebagaimana yang beliau lakukan pada shalat jum’at. Ini berdasarkan hadits riwayat Muslim no. 878 dari sahabat An-Nu’man bin Basyir. Dan Nabi -alaihishshalatu wassalam- juga biasa membaca surah Qaf pada rakaat pertama dan Al-Qamar pada rakaat kedua, juga berdasarkan riwayat Muslim no. 891 dari sahabat Abu Waqid Al-Laitsi.

i.    Sisanya sama seperti kaifiat shalat biasa.

j.    Barangsiapa yang ketinggalan atau tidak menghadiri shalat id secara berjamaah maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Sebagian ulama berpendapat tidak disyariatkan adanya qadha`, karena shalat id adalah shalat yang mempunyai ketentuan (seperti harus berjamaah dan ada khutbah setelahnya), sehingga kapan ketentuan ini tidak terpenuhi maka tidak wajib diqadha`. Ini adalah pendapat Ibnu Taimiah dan yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Al-Utsaimin.
Sebagian lainnya berpendapat hendaknya dia mengqadha` dengan mengerjakan shalat dua rakaat beserta takbir-takbir tambahan. Telah shahih bahwa sahabat Anas bin Malik mengerjakan amalan ini. Ini adalah pendapat Qatadah, Atha`, An-Nakhai, Ibnu Sirin, Asy-Syafi’i, Abu Tsaur, Al-Hasan, Malik, Al-Laits, Abu Hanifah, Ibnu Abi Syaibah, dan salah satu riwayat dari Ahmad.
Jika dia hanya shalat dua rakaat tanpa takbir-takbir tambahan maka ini juga tidak bermasalah. Ini adalah pendapat Ibnu Al-Hanafiah, Ikrimah, Ibnu Iyadh, dan merupakan mazhab Al-Bukhari -rahimahullah-. Juga merupakan salah satu pendapat Malik dan Ahmad dalam satu riwayat.
Kami katakan: Yang manapun dari ketiga amalan di atas yang dia kerjakan maka insya Allah tidak mengapa.
Lihat Fathul Bari karya Al-Hafizh (2/474-475), Fathul Bari karya Ibnu Rajab (9/76), dan Asy-Syarh Al-Mumti’ (5/208)

k.    Jika hari id bertemu dengan hari jum’at maka tidak diberikan keringanan bagi yang telah menghadiri shalat id untuk tidak menghadiri shalat jum’at. Akan tetapi dia tetap mengerjakan shalat zuhur baik secara berjamaah di masjid maupun sendiri di rumah, wallahu a’lam. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa (24/211). Selengkapnya lihat di: http://al-atsariyyah.com/?p=1358
Ahkam Shalat Al-Idain

Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama Islam dengan semua perkara yang dibutuhkan oleh para pemeluknya. Allah Ta’ala berfirman, “Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian.” Dan di antara kesempurnaan agama ini adalah Allah menjadikan, bahkan mensyariatkan untuk mereka id (hari raya) dimana mereka berbahagia dan bergembira di dalamnya. Hal itu karena sudah menjadi tabiat manusia senang dengan hari dimana mereka bisa berkumpul dan bersenang-senang di dalamnya, karenanya Allah memenuhi kebutuhan mereka ini dengan memberikan kepada mereka hari raya dimana di dalamnya mereka bisa bergembira dan bersenang-senang sesuai dengan aturan dari-Nya.
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata, “Syariat Islam tidak mempunyai kecuali 3 hari id saja: Id yang pertama adalah al-fithr, kemudian setelahnya adalah al-adhha, kemudian hari jum’at. Adapun idul fithr dijadikan hari raya karena saat itu kaum muslimin telah menunaikan puasa yang menjadi kewajiban dalam Islam. Adapun idul adhha dijadikan hari raya karena dia terletak setelah 10 Zulhijjah dimana pada 10 hari pertama Zulhijjah, kaum muslimin disyariatkan untuk memperbanyak zikir dan ibadah, dan juga dari sisi adanya ibadah haji sebelumnya. Maka hari id setelah wuquf di Arafah sama seperti hari id setelah puasa ramadhan. Adapun hari jumat dijadikan hari id, karena pada hari itu penciptaan dimulai, pada hari itu Adam tercipta, pada hari itu dia dikeluarkan dari surga, dan pada hari itu juga terjadi kiamat.” Diringkas dari Asy-Syarh Al-Mumti’ (5/211-213) dengan sedikit perubahan.

Definisi.
Dinamakan hari raya sebagai id, karena hari itu ya’udu (kembali berulang) setiap tahunnya dengan membawa kegembiraan yang baru, berupa kebaikan dan nikmat dari Allah Ta’ala tatkala mensyariatkan untuk bergembira setelah menyelesaikan suatu ibadah yang besar. Demikian dinyatakan oleh Ibnu Al-Arabi dan Ibnu Abidin -rahimahumallahu Ta’ala-.
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata dalam Asy-Syarh Al-Mumti’ (5/145), “Kalimat ‘Shalat Idain’ adalah bentuk penyandaran sesuatu kepada waktu pengerjaannya dan kepada sebabnya. Maka shalat id ini disebabkan karena adanya dua hari id, dan shalat ini juga tidak dikerjakan kecuali pada kedua hari id ini.”

Hukum Shalat Idain.
Ada tiga pendapat dalam masalah ini:
1.    Sunnah muakkadah. Ini adalah pendapat Ats-Tsauri, Malik, Asy-Syafi’i, Ishak, dan Abu Yusuf.
Mereka berdalilkan dengan dalil-dalil yang menyatakan tidak ada shalat wajib kecuali shalat lima waktu, misalnya hadits Thalhah bin Ubaidillah dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim
2.    Fardhu kifayah. Ini adalah zhahir mazhab Ahmad, mazhab sekelompok Al-Hanafiah, dan mazhab Asy-Syafi’iyah.
Mereka mengatakan bahwa shalat id ini tidak didahului dengan azan dan iqamah sehingga tidak diwajibkan kepada setiap orang, sebagaimana halnya shalat jenazah.  Mereka juga mengatakan: Hukum fardhu kifayah ini kami petik dari mengkompromikan dalil-dalil pendapat yang menyunnahkan dengan dalil-dalil pendapat yang mewajibkan.
3.    Fardhu ain bagi semua laki-laki dan perempuan yang telah balig, kecuali mereka yang diperkecualikan sebagaimana yang akan datang penjelasannya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah.
Banyak dalil yang menguatkan pendapat ketiga ini di antaranya:
a.    Para sahabat tidak pernah mengerjakan shalat Id kecuali bersama Nabi -alaihishshalatu wassalam- padahal banyak lapangan di Madinah dan sekitarnya, sebagaimana mereka tidak pernah mengerjakan shalat jumat kecuali bersama beliau di masjid Nabawi padahal banyak masjid lain di Madinah. Ini menunjukkan shalat id sama dengan shalat jumat di sisi mereka, bukan merupakan shalat sunnah mutlak dan bukan pula shalat yang sejenis dengan shalat jenazah.
b.    Nabi -alaihishshalatu wassalam- memerintahkan para wanita untuk keluar ke lapangan, walaupun dia dalam keadaan haid. Ini ditunjukkan oleh hadits Ummu Athiyah riwayat Al-Bukhari yang akan datang. Sementara pada shalat lima waktu dan jum’at beliau bersabda tentang para wanita, “Rumah mereka lebih baik bagi mereka.”
c.    Shalat id menggugurkan kewajiban shalat jumat bagi siapa yang menghadiri shalat id, sebagaimana yang akan datang keterangannya. Dan tidak ada yang bisa menggugurkan kewajiban sebuah shalat wajib kecuali dia juga merupakan shalat yang wajib atau bahkan lebih wajib daripada yang dia gugurkan hukumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah menguatkan pendapat yang ketiga yaitu yang menyatakan shalat id adalah fardhu ain. Lalu beliau berkata, “Pendapat yang menyatakan tidak wajibnya adalah pendapat yang sangat jauh dari kebenaran, karena shalat ini termasuk dari syiar Islam yang paling besar, dan jumlah manusia yang berkumpul padanya juga lebih banyak daripada shalat jumat, dan takbir juga disyariatkan padanya. Adapun pendapat yang menyatakan dia fardhu kifayah maka dia adalah pendapat yang tidak jelas sisi pendalilannya.” (Majmu’ Al-Fatawa: 23/161)
Adapun dalil pendapat pertama terbantahkan dengan wajibnya shalat jenazah, padahal Nabi -alaihishshalatu wassalam- tidak menyebutkan shalat jenazah dalam hadits Thalhah tersebut. Ini menunjukkan beliau tidak bermaksud membatasi shalat wajib hanya yang lima waktu, tapi beliau hanya menyebutkan shalat yang diwajibkan setiap harinya. Jadi tidak bertentangan jika kita mengatakan wajibnya shalat id, karena dia hanya diwajibkan dua kali dalam setahun.
Adapun dalil pendapat kedua, maka perbuatan mereka mengkiaskan shalat id kepada shalat jenazah adalah kias yang batil karena bertentangan dengan dalil-dalil yang mewajibkannya.
Adapun alasan mereka mengompromikan dalil-dalil yang ada maka itu tidak bisa diterima, karena mengharuskan shalat jum’at juga hukumnya fardhu kifayah bagi laki-laki yang telah balig. Hal itu karena shalat jum’at juga tidak tersebut dalam hadits Thalhah bin Ubaidillah sementara ada dalil lain yang mewajibkannya, maka seharusnya mereka juga mengompromikannya dan mengatakan kalau shalat jum’at itu hanya fardhu kifayah bagi laki-laki yang telah balig, dan ini tentunya adalah pendapat yang batil.

[Lihat Majmu’ Al-Fatawa: 24/179-184]

Siapa yang Wajib Shalat Id?
Shalat id diwajibkan atas seluruh laki-laki dan perempuan yang telah balig dengan syarat dia berada pada tempat tinggalnya (muqim).
Manusia secara umum ada 2 jenis: Musafir dan muqim
Yang wajib mengerjakan shalat shalat id hanyalah laki-laki dan perempuan balig yang muqim, tidak diwajibkan atas musafir laki-laki dan perempuan. Karenanya jika kita dalam keadaan safar ke sebuah tempat lalu di situ diadakan shalat id, maka tidak wajib bagi kita untuk menghadirinya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama di antaranya: Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan ini yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahullah-.
Dalil akan hal ini adalah bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- tidak pernah mendirikan shalat id kecuali di Madinah. Beliau pernah bersafar ke Makkah pada saat fathu Makkah lalu beliau tinggal di Makkah sampai masuk bulan Syawal, akan tetapi tidak pernah dinukil dalam satu pun riwayat bahwa beliau dan para sahabat mendirikan shalat id. Demikian pula ketika waji wada` dimana idul adhha masuk ketika beliau berada di Mina, akan tetapi beliau tidak mengerjakan shalat ini karena beliau musafir. Sebagaimana beliau juga tidak mengerjakan shalat jum’at di Arafah karena beliau musafir.
Adapun orang-orang yang sakit maka dia diberikan uzur untuk tidak shalat id jika dia tidak sanggup untuk keluar ke lapangan atau ke masjid jika didirikan di masjid tatkala ada uzur.

[Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’: 5/168-169 dan Majmu’ Al-Fatawa: 24/177-179]
Ahkam Al-Muhdits (2)

Berikut kelanjutan dari pembahasan yang telah berlalu. Sebelumnya telah dibahas mengenai hukum berzikir dan hukum membaca Al-Qur`an bagi yang berhadats. Sekarang kami akan membahas hukum menyentuh mushaf, hukum masuk masjid, dan hukum sujud tilawah. Berikut uraiannya:

1.    Hukum menyentuh mushaf Al-Qur`an.
Yang dimaksud dengan mushaf adalah semua wadah yang Al-Qur`an tertulis di dalamnya, baik satu Al-Qur`an penuh maupun sebagian darinya, sampai walaupun yang tertulis hanya satu ayat yang misalnya ditulis di selembar kertas, tapi dengan catatan tidak ada ucapan manusia bersamanya, maka yang seperti ini mempunyai hukum mushaf. Asy-Syarhul Mumti (1/315)
Masalah ini mempunyai dua bentuk:
1.    Jika Al-Qur`an berbaur dengan ucapan manusia, maka dalam hal ini ada tiga perkara yang dibahas oleh para ulama:
a.    Menyentuh kitab-kitab tafsir. Yang kuat dalam masalah ini adalah bolehnya. Ini adalah pendapat sebagian Al-Hanafiah dan merupakan pendapat Al-Malikiah dan Ahmad -dalam satu riwayat-.
Mereka berdalil dengan riwayat-riwayat yang menyebutkan Nabi mengirim surat kepada orang-orang kafir yang di dalamnya tertulis sebagian ayat disamping ucapan beliau. Mereka juga menyatakan bahwa tafsir tidak dinamakan sebagai mushaf sama sekali, sehingga dia tidak mendapatkan hukum pemuliaan sebagai layaknya mushaf.
b.    Menyentuh kitab-kitab hadits, fiqhi, dan selainnya. Al-Malikiah, Al-Hanabilah, serta sebagian Al-Hanafiah dan sebagian Asy-Syafi’iyah berpendapat bolehnya hal ini. Inilah pendapat yang kuat berdasarkan dalil yang tersebut di atas.
c.    Menyentuh terjemahan Al-Qur`an. Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat Al-Malikiah, Asy-Syafi’iyah, dan Al-Hanabilah yang menyatakan bolehnya. Mereka berdalil bahwa terjemahan Al-Qur`an bukanlah Al-Qur`an karena Al-Qur`an itu adalah apa yang berbahasa arab.
Faidah: Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata, “Adapun jika jumlah huruf tafsir (atau ucapan manusia, pen.) sama banyaknya dengan jumlah huruf Al-Qur`an, maka jika sesuatu yang boleh berbaur dengan sesuatu yang terlarang dan keduanya tidak bisa dipilah, maka harus didahulukan larangan, sehingga yang seperti ini diberikan hukum Al-Qur`an.” Asy-Syarhul Mumti’ (1/323)
2.    Jika Al-Qur`an tidak berbaur dengan ucapan manusia, dan ini dinamakan mushaf. Maka dalam masalah ini juga ada dua keadaan:
a.    Menyentuhnya tanpa pengalas/pelapis. Ada tiga pendapat di kalangan ulama dalam hal ini:
1.    Tidak boleh menyentuh. Ini adalah mazhab mayoritas ulama dari kalangan keempat mazhab, dan ini yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Al-Utsaimin. Di antara dalil-dalil mereka adalah:
a.    Firman Allah Ta’ala, “Tidak ada yang menyentuhnya kecuali mereka-mereka yang disucikan,” (QS. Al-Waqiah: 79) yakni: Tidak ada yang menyentuh Al-Qur`an kecuali orang-orang yang disucikan dari hadats akbar maupun ashghar.
Sanggahan: Yang benarnya kata ‘nya’ pada kata menyentuhnya kembali kepada ayat sebelumnya yaitu, “Di dalam kitab yang terjaga,” (QS. Al-Waqiah: 78) yakni: Mungkin dia adalah al-lauh al-mahfuzh dan mungkin juga dia adalah lembaran-lembaran yang ada di tangan para malaikat, sebagaimana yang akan disebutkan dalam surah Abasa. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘mereka yang disucikan’ adalah para malaikat, sebagaimana pada firman Allah Ta’ala pada surah Abasa, “Sekali-kali tidak, sesungguhnya dia (Al-Qur`an) adalah peringatan, bagi siapa yang mengingatnya, dia terdapat dalam lembaran-lembaran yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para perantara (malaikat), yang mulia lagi baik.” Inilah yang benar, karena Allah menyatakan ‘yang disucikan’ dan hamba-Nya yang disucikan adalah para malaikat. Seandainya yang Allah maksudkan adalah orang-orang yang tidak berhadats, niscaya Dia akan menyatakan: ‘yang bersuci’.
Ala kulli hal, kalaupun kita katakan kata ‘nya’ di sini bisa juga bermakna Al-Qur`an dan ‘yang disucikan’ juga bisa bermakna yang tidak berhadats, maka berarti ayat ini mempunyai dua kemungkinan makna. Sementara kaidah ushul -akan disebutkan- bahwa jika sebuah dalil mempunyai dua kemungkinan makna atau lebih yang sama kuat dan tidak bisa dipadukan maka tidak dibenarkan berdalil dengannya.
b.    Hadits tentang kitab Nabi -shallallahu alaihi wasallam- yang beliau kirim kepada Amr bin Hazm dan di dalamnya tertulis, “… dan tidak ada yang menyentuh Al-Qur`an kecuali orang yang thahir (suci).” (HR. Malik hal. 611, An-Nasai: 8/58, Ad-Daraquthni: 3/209, Al-Baihaqi: 8/80, dan Al-Hakim: 1/395)
Hadits ini diperselisihkan akan keshahihannya: Imam Abu Daud dan Ibnu Hazm melemahkannya, sementara dia dishahihkan oleh Imam Asy-Syafi’i, Ahmad, Al-Hakim, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, Al-Uqaili, dan Ibnu Abdil Barr. Dan kami lebih condong kepada para ulama yang menshahihkannya, akan tetapi dia shahih dengan seluruh jalan-jalannya.
Hanya saja kata ‘thahir’ dalam syariat mengandung empat kemungkinan makna: Bisa bermakna muslim, bisa bermakna suci dari hadats akbar, bisa bermakna suci dari hadats ashghar dan bisa bermakna orang yang tidak terkena najis pada badannya. Dalil dari makna yang pertama adalah hadits, “Sesungguhnya mukmin itu bukanlah najis,” (HR. Al-Bukhari: 1/74,85 dan Muslim: 1/282) yakni: Suci. Dalil dari makna yang kedua adalah ayat, “Jika kalian junub maka bersucilah,” (QS. Al-Maidah: 6). Dalil dari makna yang ketiga adalah hadits mengusap di atas khuf, “Sesungguhnya saya memasukkan keduanya (kaki) dalam keadaan suci,” (HR. Al-Bukhari: 1/59 dan Muslim: 1/230) yakni: Telah berwudhu. Dan dalil dari makna yang ketiga adalah ijma’.
Kata ‘thahir’ di sini tidak bisa dimaknakan dengan keempat makna ini secara bersamaan karena makna yang pertama justru mendukung pendapat yang kedua, bahwa yang boleh menyentuhnya hanya mukmin walaupun dia junub. Berhubung hadits ini mempunyai kemungkinan yang sama kuat lagi tidak bisa dikompromikan maka tidak dibenarkan untuk berdalil dengannya, sebagaimana kaidah yang masyhur di kalangan ulama ushul.
Akan tetapi hal ini dibantah oleh para ulama yang melarang orang yang berhadats untuk menyentuh Al-Qur`an dengan mengatakan: Yang dimaksud dengan ‘thahir’ di sini adalah yang tidak berhadats akbar dan ashghar’, dengan dalil lafazh lain dari hadits ini, “Kecuali di atas thaharah.” (HR. Abdurrazzaq no. 1322) Hadits ini juga diriwayatkan dari sahabat Hakim bin Hizam dengan lafazh, “Kecuali kamu di atas thaharah.” (HR. Ad-Daraquthni: 121) Ditambah lagi bahwa yang diajak bicara di sini adalah Amr bin Hazm dan Hakim bin Hizam yang keduanya adalah seorang mukmin, dari sini kita menetapkan bahwa yang dimaksud dengan ‘thahir’ di sini bukan bermakna mukmin tapi yang suci dari kedua hadats. Karenanya hadits ini bisa dijadikan sebagai dalil akan tidak bolehnya orang yang berhadats untuk menyentuh Al-Qur`an.
c.    Hadits Ibnu Umar bahwa Nabi -shallallahu alaihi wasallam- melarang membawa Al-Qur`an di negeri musuh dan beliau bersabda, “Khawatir akan diambil oleh musuh.” (HR. Al-Bukhari: 4/15 dan Muslim: 3/1490)
Dijawab bahwa hadits ini hanya menunjukkan larangan membawa Al-Qur`an ke daerah musuh karena khawatir mereka akan menghinakannya jika jatuh ke tangan mereka. Tidak ada sama sekali keterangan di dalamnya yang menjelaskan bahwa Al-Qur`an tidak boleh disentuh oleh orang yang berhadats akbar atau kafir.
2.    Boleh menyentuhnya dengan punggung telapak tangan, tidak boleh dengan telapaknya.
Ini adalah pendapat Al-Hakam dan Hammad. Mereka menyatakan karena yang dipakai menyentuh adalah telapak tangan, karenanya larangan diarahkan ditujukan padanya.
Ini dibantah bahwa kata ‘menyentuh’ di sini bersifat mutlak, baik dengan telapak tangan maupun punggungnya.
3.    Boleh menyentuhnya secara mutlak. Ini adalah pendapat sekelompok ulama salaf di antaranya: Said bin Jubair, Mujahid, Adh-Dhahhak, dan Abu Al-Aliyah. Ini juga adalah pendapat Daud dan Ibnu Hazm, dan yang dikuatkan oleh Syaikh Al-Albani dan Syaikh Muqbil. Berikut dalil-dalil mereka:
a.    Hadits Aisyah yang telah berlalu ketika dia haid dalam keadaan telah ihram untuk haji, “Lakukan apa saja yang dilakukan oleh orang yang berhaji, kecuali tawaf di Ka’bah sampai kamu suci.”
Dijawab bahwa hadits ini bersifat umum dan dikecualikan darinya menyentuh Al-Qur`an sebagaimana dikecualikan darinya shalat dan tawaf.
b.    Menyentuh Al-Qur`an termasuk dari amalan kebaikan yang dianjurkan, karenanya siapa yang melarangnya maka hendaknya dia mendatangkan dalil yang shahih lagi tegas akan pelarangannya. Dan di sini tidak ada satu pun dalil yang shahih lagi tegas menunjukkan hal itu.
Dijawab: Hadits Amr bin Hazm di atas adalah hadits yang shahih dari seluruh jalannya dan isinya menunjukkan tidak bolehnya menyentuh Al-Qur`an bagi orang yang berhadats.
Tarjih:
Yang rajih dalam masalah ini adalah pendapat pertama, ini yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, Syaikh Abdurrahman bin Sa’di, dan Syaikh Ibnu Al-Utsaimin. Dan diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Umar, Salman, dan Sa’ad bin Abi Waqqash -radhiallahu anhum- bahwa ketiganya melarang orang yang berhadats untuk menyentuh Al-Qur`an, dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka ini.
b.    Menyentuhnya dengan pelapis. Ada tiga pendapat dalam masalah ini, akan tetapi yang rajih dalam masalah ini adalah pendapat yang membolehkan karena dalil yang datang hanya melarang menyentuhnya secara langsung. Ini adalah pendapat sebagian Al-Hanabilah dan salah satu sisi dalam mazhab Asy-Syafi’iyah.

2.    Hukum masuk dan berdiam di dalam masjid. Ada dua pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini:
1.    Tidak boleh wanita haid dan yang junub untuk masuk dan berdiam di dalam masjid. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dan di antara mereka adalah mazhab yang empat.
Di antara dalil-dalil mereka:
a.    Ayat ke-43 dari surah An-Nisa`, “Dan tidak juga orang yang junub kecuali orang yang lewat sampai kalian mandi.”
Hukum ini juga berlaku bagi wanita yang haid dan nifas.
Akan tetapi pendalilan dengan ayat ini kurang tepat karena dalam ayat ini sama sekali tidak disinggung tentang masjid, justru yang tersebut sebelumnya adalah shalat. Karenanya makna ayat ini adalah: Dan tidak juga orang yang junub untuk mendekati shalat kecuali orang yang lewat (musafir) yang terkena junub dan dia tidak menemukan air maka hendaknya dia bertayammum. Ini adalah penafsiran yang disebutkan oleh Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu anhum-
b.    Hadits Aisyah secara marfu’, “Sesungguhnya saya tidak menghalalkan masjid bagi wanita haid dan orang yang junub.” (HR. Abu Daud: 1/157) Dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1/212) dari Ummu Salamah, dan Ibnu Hazm juga menyebutkannya dari Aisyah. Akan tetapi yang meriwayatkan hadits ini dari keduanya adalah Jasrah bintu Dujajah, dan keadaannya diperselisihkan oleh para ulama ahli hadits. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam At-Taqrib berkata, “Dia maqbulah,” yakni diterima haditsnya jika ada yang mendukung tapi jika tidak maka haditsnya lemah, sementara di sini tidak ada rawi lain yang mendukungnya. Karenanya hadits ini dinyatakan lemah oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 193
Kalaupun seandainya dia adalah rawi yang hasan, maka bersendiriannya dia dalam meriwayatkan hadits ini dari Aisyah dan Ummu Salamah adalah hal yang tidak bisa diterima, mana murid-murid senior keduanya dari kalangan imam tabi’in, kenapa tidak ada seorang pun yang meriwayatkan hadits ini dari mereka berdua. Dan bersendiriannya seorang rawi dalam meriwayatkan hadits padahal dia belum sanggup untuk bersendirian adalah termasuk bentuk hadits mungkar sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Al-Muqizhah.
Hadits ini telah dinyatakan lemah oleh Ahmad, Al-Bukhari, Al-Baihaqi, Ibnu Hazm, Ibnu Rajab, dan selainnya.
c.    Hadits Ummu Athiyah dimana Nabi -alaihishshalatu wassalam- menyuruh para wanita keluar ke lapangan untuk shalat id, dan beliau bersabda, “Adapun yang haid maka hendaknya dia menjauhi mushalla kaum muslimin.” (HR. Al-Bukhari: 1/9,10 dan Muslim: 2/605)
Sanggahan: Yang dimaksud dengan mushalla di sini adalah shalat itu sendiri dan bukan lapangannya. Ini ditunjukkan dalam riwayat Muslim (2/606) dengan lafazh, “Adapun para wanita yang haid maka mereka menjauhi shalat dan mereka menyaksikan kebaikan serta doa kaum muslimin.” Seandainya yang dimaksud mereka menjauhi lapangan, tentunya tidak ada gunanya mereka disuruh mendatangi shalat id dan mereka tentu tidak akan menyaksikan doa kaum muslimin.
2.    Bolehnya mereka masuk ke dalam masjid. Ini adalah pendapat Daud, Ibnu Hazm, dan Al-Muzani. Juga merupakan pendapat Mujahid, Said bin Jubair, Al-Hasan bin Muslim, Qatadah, serta diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Abbas. Ini yang dikuatkan oleh Ibnu Al-Mundzir dan Asy-Syaukani.
Berikut di antara dalil-dalil mereka:
a.    Hadits Aisyah yang telah berlalu tentang haidnya beliau saat telah ihram haji. Dan termasuk amalan jamaah haji adalah keluar masuk masjid, menunjukkan hal ini dibolehkan bagi Aisyah yang tengah haid.
b.    Adanya seorang wanita yang tinggal di dalam masjid yang bertugas untuk membersihkan masjid (HR. Al-Bukhari no. 458 dan Muslim no. 956). Demikian pula para sahabat yang tinggal di masjid (ahlu ash-shuffah). Sudah dimaklumi bahwa wanita itu pasti mengalami haid dan para sahabat yang tidur di masjid yang merupakan para bujangan pasti akan mengalami junub. Akan tetapi bersamaan dengan itu Nabi -alaihishshalatu wassalam- tidak pernah memerintahkan mereka untuk keluar dari masjid.
c.    Hadits Aisyah bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- pernah bersabda kepadanya, “Ambilkan khumrah (sajadah kecil) di masjid,” maka Aisyah menjawab, “Saya sedang haid,” maka beliau bersabda, “Sesungguhnya haidmu bukan di tanganmu,” (HR. Muslim: 1/245) yakni: Haid itu penentuannya bukan di tanganmu akan tetapi di tangan Allah.
d.    Kisah diikatnya sahabat Tsumamah bin Utsal -yang ketika itu masih musyrik- di dalam masjid yang pada akhirnya dia masuk islam, dan kisahnya disebutkan dalam riwayat  Al-Bukhari dan Muslim. Jika orang musyrik saja bisa masuk ke dalam masjid, apalagi kaum muslimin yang berhadats, tentunya mereka lebih pantas untuk memasukinya.
Tarjih:
Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat kedua yang menyatakan bolehnya orang yang berhadats besar untuk masuk ke dalam masjid.

3.    Hukum sujud tilawah.
Tidak ada satu pun dalil yang melarang wanita yang haid dan nifas atau orang yang junub untuk sujud tilawah ketika dia membaca atau mendengar ayat sajadah. Hal itu karena sujud tilawah bukanlah shalat sehingga tidakpersyaratan padanya thaharah sebagaimana pada shalat. Dengan dalil hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- pernah membaca surah An-Najm lalu beliau sujud tilawah di dalamnya, maka ikut pula bersujud kaum muslimin, kaum musyrikin, jin, dan manusia. (HR. Al-Bukhari no. 4862) Di sini mustahil kita katakan kalau mereka semua dalam keadaan usci dari hadats. Karenanya boleh bagi yang berhadats untuk melakukan sujud tilawah, dan ini adalah pendapat Az-Zuhri dan Qatadah.

[Rujukan: Al-Ahkam Al-Mutarattibah ala Al-Haidh wa An-Nifas karya Saleh bin Abdillah Al-Lahim hal. 20-65, Asy-Syarhul Mumti’: 1/315-323, Jami’ Ahkam An-Nisa: 1/174, 182-189, 191-198]
 
Top