Tulisan ini sangat patut sebagai bahan renungan, saya sering banget melihat gejala semacam ini.....minjem istilahnya pak BeYe; Saya Prihatin..
Mengapa Saya Kabur?
Keputusan saya untuk meninggalkan kegiatan Pelatihan Kader Penggerak Ranting Angkatan I yang dilaksanakan oleh PBNU melalui PP LAKPESDAM NU sebelum kegiatan tersebut berakhir sesungguhnya sudah melalui pertimbangan yang cukup. Dengan ungkapan yang lebih vulgar saya memang kabur atau mbolos dari kegiatan yang sebenarnya menurut saya sungguh memiliki tujuan yang sangat mulia.
Bahwa sikap saya ini memiliki beberapa konsekwensi seperti kehilangan hak mendapat sertifikat pelatihan dan bahwa saya harus mempertanggungjawabkan kepada PCNU, hal itu merupakan sesuatu yang sudah saya pertimbangkan. Dan tulisan ini juga sesungguhnya merupakan bagian dari pertanggungjawaban saya.
Dan inilah sedikit penjelasan saya:
Dua hari pertama kegiatan pelatihan sungguh merupakan kegiatan yang istimewa dan luar biasa, kegiatan yang penuh dengan motivasi, kegiatan yang banyak memberi kesadaran akan kebangkitan warga NU. Beberapa pemateri berhasil meyakinkan peserta akan perlunya “segera” menata ulang organisasi NU dari tingkat ranting. Konsep yang disodorkan juga sangat meyakinkan dalam upaya menghadapi kondisi lokal, nasional maupun internasional agar NU tetap eksis dan bahkan mampu berkembang.
Salah satu pembicara telah berhasil menggambarkan betapa diplomasi NU di tingkat internasioal sudah sangat strategis. Luar biasa juga apa yang dipaparkan oleh pembicara lain bagaimana ia telah menggali nilai-nilai yang diyakini oleh para pendiri NU, para ulama NU zaman dulu, maupun keteladanan yang ada pada mereka. Saya juga salut dan perlu memberi apresiasi atas ketegasan sikap Pemateri dalam menolak konsep dan hasil kajian akademik yang banyak dikekang oleh kepentingan neoliberalisme. Konsep “olah spiritual, olah intelektual dan olah fisik” juga merupakan sebuah konsep yang cukup menjanjikan dalam kerangka usaha penataan organisasi NU.
Intinya, setidaknya menurut saya secara umum garis perjuangan dan ruh Nahdlatul Ulama telah berhasil dipresentasikan dalam dua hari pertama kegiatan pelatihan penggerak ranting angkatan I.
Hanya saja dalam tataran aplikasi garis perjuangan dan ruh NU tidak begitu terasa dalam pelaksanaan kegiatan pelatihan. Format kegiatan terkesan beda-beda tipis (untuk tidak mengatakan sama) dengan LSM-LSM murahan yang bertebaran di luar NU meski sebenarnya kita tau bahwa Lakpesdam bukanlah LSM.
Sebut saja misalnya dalam hal ini: “Karakter yang harus dimiliki oleh penggerak ranting adalah berkeyakinan bahwa ketidakadilan sosial adalah diciptakan (constructed) dan karenanya dapat diubah”. Ajaran siapa ini? Seperti itukah keyakinan yang diajarkan para ulama? Bukankah ulama mengajarkan bahwa kita hanya memiliki ruang untuk ikhtiar?
Yang aneh dalam hal itu adalah ketika saya mencoba menanyakan tentang posisi Allah dalam konteks doktrin itu justru harus puas dengan jawaban fasilitator bahwa kita tidak perlu terjebak dalam diskusi Jabariyah v.s. Qadariyah. Dan aneh juga ketika ada peserta yang menguatkan doktrin tersebut dengan mengutip sebuah ayat:
إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم
Sayangnya tidak ada kesempatan untuk mendiskusikan lebih jauh tentang keyakinan itu maupun tentang tafsir dari potongan ayat di atas. Nampaknya fasilitator itu lebih suka menghabiskan waktu dengan penayangan video Ikan Nemo (film th 2003-an?) ketimbang soal doktrin itu. Profesionalisme juga tidak terlihat saat proses penayangan video itu, terbukti dengan kesulitan mencari folder yang berisi file video maupun kesulitan menayangkan di infocus.
Tetapi baiklah, kita mencoba husnudzon bahwa Lakpesdam masih ahlussunnah, dan perdebatan Jabariyah v.s. Qadariyah sudah selesai. Lalu bagaimana dengan syariat? Perhatikan jadwal kegiatan hari Jum’at. Di sana tertulis hari jum’at ishoma pukul 12.05 WIB. Menurut saya ini luar biasa. Ini NU, ini ormas yang didirikan oleh para ulama yang sudah pasti mereka memberi perhatian lebih terhadap hari Jum’at.
Lebih luar biasa lagi adalah adanya pengumuman bahwa peserta akan shalat jum’at di lokasi pelatihan. Ketika beberapa peserta mencoba mengkomunikasikan dengan panitia ternyata jawaban panitia cukup mengejutkan saya: Delapan kali pelatihan kader penggerak NU selalu jum’atan di sini.
Mengapa saya anggap luar biasa?
Karena selama ini saya selalu berusaha agar bisa menjalankan shalat jumat di masjid yang ada di desa sendiri. Atau kalau toh terpaksa tidak, setidaknya saya akan berusaha agar bisa menjalankan shalat jumat sesuai ajaran guru-guru saya, kyai-kyai saya. Dan pelatihan ini --pelatihan yang terpaksa membuat saya meninggalkan shalat jum’at di masjid desa sendiri-- sungguh mengejutkan saya. Bagaimana tidak?
SENGAJA MERENCANAKAN SHALAT JUMAT TIDAK DI MASJID, DIIKUTI OLEH KURANG DARI 40 ORANG LAKI-LAKI, MEREKA BUKAN PENDUDUK SETEMPAT DAN SUDAH DELAPAN KALI HAL INI DILAKUKAN.
Bukankah ini LUAR BIASA?
Maka mohon maaf, “kabur” merupakan pilihan sikap saya sebagai penolakan atas hal-hal yang tidak sesuai dengan keyakinan dan syariat saya. Dan saya bersyukur masih bisa melaksanakan shalat jum’at di masjid kategori NU dengan indikator cukup mudah, yaitu masjid yang memiliki bedug dan kebetulan bedugnya cukup besar, tepatnya di Jalan Imam Bonjol Cikarang Barat.
Tidak aneh juga jika ormas keagamaan lainnya menganggap NU menyepelekan syari’at. Perilaku para pengurus, pegiat, aktifis dan kader NU secara personal telah digeneralisasi dalam anggapan mereka bahwa memang demikianlah NU saat ini.
Wallahu 'alam.
Keputusan saya untuk meninggalkan kegiatan Pelatihan Kader Penggerak Ranting Angkatan I yang dilaksanakan oleh PBNU melalui PP LAKPESDAM NU sebelum kegiatan tersebut berakhir sesungguhnya sudah melalui pertimbangan yang cukup. Dengan ungkapan yang lebih vulgar saya memang kabur atau mbolos dari kegiatan yang sebenarnya menurut saya sungguh memiliki tujuan yang sangat mulia.
Bahwa sikap saya ini memiliki beberapa konsekwensi seperti kehilangan hak mendapat sertifikat pelatihan dan bahwa saya harus mempertanggungjawabkan kepada PCNU, hal itu merupakan sesuatu yang sudah saya pertimbangkan. Dan tulisan ini juga sesungguhnya merupakan bagian dari pertanggungjawaban saya.
Dan inilah sedikit penjelasan saya:
Dua hari pertama kegiatan pelatihan sungguh merupakan kegiatan yang istimewa dan luar biasa, kegiatan yang penuh dengan motivasi, kegiatan yang banyak memberi kesadaran akan kebangkitan warga NU. Beberapa pemateri berhasil meyakinkan peserta akan perlunya “segera” menata ulang organisasi NU dari tingkat ranting. Konsep yang disodorkan juga sangat meyakinkan dalam upaya menghadapi kondisi lokal, nasional maupun internasional agar NU tetap eksis dan bahkan mampu berkembang.
Salah satu pembicara telah berhasil menggambarkan betapa diplomasi NU di tingkat internasioal sudah sangat strategis. Luar biasa juga apa yang dipaparkan oleh pembicara lain bagaimana ia telah menggali nilai-nilai yang diyakini oleh para pendiri NU, para ulama NU zaman dulu, maupun keteladanan yang ada pada mereka. Saya juga salut dan perlu memberi apresiasi atas ketegasan sikap Pemateri dalam menolak konsep dan hasil kajian akademik yang banyak dikekang oleh kepentingan neoliberalisme. Konsep “olah spiritual, olah intelektual dan olah fisik” juga merupakan sebuah konsep yang cukup menjanjikan dalam kerangka usaha penataan organisasi NU.
Intinya, setidaknya menurut saya secara umum garis perjuangan dan ruh Nahdlatul Ulama telah berhasil dipresentasikan dalam dua hari pertama kegiatan pelatihan penggerak ranting angkatan I.
Hanya saja dalam tataran aplikasi garis perjuangan dan ruh NU tidak begitu terasa dalam pelaksanaan kegiatan pelatihan. Format kegiatan terkesan beda-beda tipis (untuk tidak mengatakan sama) dengan LSM-LSM murahan yang bertebaran di luar NU meski sebenarnya kita tau bahwa Lakpesdam bukanlah LSM.
Sebut saja misalnya dalam hal ini: “Karakter yang harus dimiliki oleh penggerak ranting adalah berkeyakinan bahwa ketidakadilan sosial adalah diciptakan (constructed) dan karenanya dapat diubah”. Ajaran siapa ini? Seperti itukah keyakinan yang diajarkan para ulama? Bukankah ulama mengajarkan bahwa kita hanya memiliki ruang untuk ikhtiar?
Yang aneh dalam hal itu adalah ketika saya mencoba menanyakan tentang posisi Allah dalam konteks doktrin itu justru harus puas dengan jawaban fasilitator bahwa kita tidak perlu terjebak dalam diskusi Jabariyah v.s. Qadariyah. Dan aneh juga ketika ada peserta yang menguatkan doktrin tersebut dengan mengutip sebuah ayat:
إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم
Sayangnya tidak ada kesempatan untuk mendiskusikan lebih jauh tentang keyakinan itu maupun tentang tafsir dari potongan ayat di atas. Nampaknya fasilitator itu lebih suka menghabiskan waktu dengan penayangan video Ikan Nemo (film th 2003-an?) ketimbang soal doktrin itu. Profesionalisme juga tidak terlihat saat proses penayangan video itu, terbukti dengan kesulitan mencari folder yang berisi file video maupun kesulitan menayangkan di infocus.
Tetapi baiklah, kita mencoba husnudzon bahwa Lakpesdam masih ahlussunnah, dan perdebatan Jabariyah v.s. Qadariyah sudah selesai. Lalu bagaimana dengan syariat? Perhatikan jadwal kegiatan hari Jum’at. Di sana tertulis hari jum’at ishoma pukul 12.05 WIB. Menurut saya ini luar biasa. Ini NU, ini ormas yang didirikan oleh para ulama yang sudah pasti mereka memberi perhatian lebih terhadap hari Jum’at.
Lebih luar biasa lagi adalah adanya pengumuman bahwa peserta akan shalat jum’at di lokasi pelatihan. Ketika beberapa peserta mencoba mengkomunikasikan dengan panitia ternyata jawaban panitia cukup mengejutkan saya: Delapan kali pelatihan kader penggerak NU selalu jum’atan di sini.
Mengapa saya anggap luar biasa?
Karena selama ini saya selalu berusaha agar bisa menjalankan shalat jumat di masjid yang ada di desa sendiri. Atau kalau toh terpaksa tidak, setidaknya saya akan berusaha agar bisa menjalankan shalat jumat sesuai ajaran guru-guru saya, kyai-kyai saya. Dan pelatihan ini --pelatihan yang terpaksa membuat saya meninggalkan shalat jum’at di masjid desa sendiri-- sungguh mengejutkan saya. Bagaimana tidak?
SENGAJA MERENCANAKAN SHALAT JUMAT TIDAK DI MASJID, DIIKUTI OLEH KURANG DARI 40 ORANG LAKI-LAKI, MEREKA BUKAN PENDUDUK SETEMPAT DAN SUDAH DELAPAN KALI HAL INI DILAKUKAN.
Bukankah ini LUAR BIASA?
Maka mohon maaf, “kabur” merupakan pilihan sikap saya sebagai penolakan atas hal-hal yang tidak sesuai dengan keyakinan dan syariat saya. Dan saya bersyukur masih bisa melaksanakan shalat jum’at di masjid kategori NU dengan indikator cukup mudah, yaitu masjid yang memiliki bedug dan kebetulan bedugnya cukup besar, tepatnya di Jalan Imam Bonjol Cikarang Barat.
Tidak aneh juga jika ormas keagamaan lainnya menganggap NU menyepelekan syari’at. Perilaku para pengurus, pegiat, aktifis dan kader NU secara personal telah digeneralisasi dalam anggapan mereka bahwa memang demikianlah NU saat ini.
Wallahu 'alam.
NU itu singakatan dari Nahdlotul'ulama yang artinya aslinya Kebangitan 'Ulma,dan pada zaman dahulu pemimpinnya para Ulama semua kecuali sekretaris atau bendahara..kalau sekarang kebanyakan pengurus NU itu hanya orang biasa atau kemungkinan ulama' karabitan atau orang orang tertentu memanfaaakan nu unttk batu loncatan memperkaya diri sendiri
kasarane banyak orang yang tidak nguripi NU tetapi gimana caranya saya bisa urip lantaran NU