Polemik Pernikahan Beda Agama

“Gimana yah En, dia tuh udah mau pindah agama, malahan sudah belajar shalat dan menjalankan ajaran Islam lainnya. Kan awal yang bagus tuh,” tutur Eni. Wit terkesima, sejak kedatangan Eni tadi nampaknya Eni sudah kadung cinta berat sama Yosef yang akrab dipanggil Eni dengan Yusuf. Cowok atletis bertampang bule itu memang tidak mengecewakan secara fisik. Perhatian dan pengertiannya pada Eni juga tak mengecewakan.

“Emang udah kenal berapa lama?” tanya Wit akhirnya.
“Jalan satu setengah tahun.”
“Kamu sudah kenal keluarganya? Sifat-sifatnya? Sikapnya?”

“Keluarganya sih belum. Sifat dan sikapnya Insya Allah sudah. En ingin bantu dia menjauh dari kesesatan, ingin mengarahkan ia ke jalan yang lurus, dirihoi Allah. Salahkah aku?” isak Eni.
Menjadi agen peubah, itulah bagian terkecil dari sifat sebagian wanita. Wanita terkadang ingin orang-orang yang dikasihi, dicintainya berproses sesuai harapannya. Seperti kasus Eni misalnya, ia ingin Yusuf mualaf agar proses pernikahan dan kehidupan mereka kelak mendapat ridho Allah. Tujuan yang mulia memang. Namun terkadang tujuan mulia itu terhalang oleh rasa cinta dan kasih yang sudah lebih dulu bersemayam di hati hingga mengaburkan mata hati dan pikiran lainnya. Yang ada kemudian adalah timbulnya rasa ingin menolong, membantu, merasa bahwa dirinya (dalam hal ini Eni) sudah sanggup menjadi agen peubah bagi Yusuf. Kalau saja Eni mau bersahabat dengan hati dan pikirannya lebih dalam lagi, akan timbullah pertanyaan, “Sudah siapkah aku menjadi agen peubah? Sudah cukupkah bekalku membimbing dia yang mualaf? Apa yang aku harapkan dari dia sebenarnya? Akukah yang butuh bimbingan atau dia? dan beragam pertanyaan-pertanyaan lainnya yang mesti dijawab dengan kesungguhan hati, kebijakan dan kesabaran dalam berproses.

Kalau ingin memilih, salah satu proses yang meski kita hadapi dalam memilih calon pendamping hidup, pilihlah perang batin sebelum memutuskan menerima daripada perang batin setelah menerima dia jadi calon. Mengalami perang batin sebelumnya membuat kita lebih siap dalam bersikap hingga mampu menerima apapun resiko yang kita hadapi dikemudian hari atas keputusan yang kita ambil sendiri. Perang batin juga harus diimbangi dengan upaya lebih mendekatkan diri pada Allah SWT, memohon petunjuk-Nya, bersikap obyektif dalam membaca rambu-rambu yang diberikan-Nya. Rambu-rambu Allah itu bisa tersalurkan melalui pendapat-pendapat sahabat kita atau orang-orang terpercaya, bisa lewat sikap dan sifatnya baik yang tersirat maupun tersurat saat berproses, dan lain-lain.

Menikah dengan muallaf sebenarnya sah-sah saja. Namun kita mesti ingat bahwa seorang suami adalah pemimpin dalam rumah tangga kita. Alangkah baiknya memilih suami yang lebih soleh daripada kita atau setidaknya yang kualitas kesadaran dan pengamalan agamanya setara dengan kita.

Kepemimpinan suami kepada istri dan anak-anaknya bermakna memberikan perlindungan, memberi
petunjuk ke jalan yang lurus dan memberikan pengarahan untuk selalu istiqomah di jalan keridhoan Allah.

Sebenarnya tujuan Eni berdakwah pada Yusuf itu bagus, namun bukan berarti harus menikah dengannya. Sementara keluarga yang diinginkan Eni adalah keluarga yang SAMARA (Sakinah, Mawaddah, Warahmah). Keluarga sakinah itu hanyalah terjadi jika seluruh anggotanya memiliki kepribadian yang Islami sehingga masing-masing mereka dapat merasakan kenyamanan, ketenangan, ketentraman dan kecintaan. Suasana tersebut akan dirasakan oleh seluruh anggota keluarga karena rumah tangga tersebut didirikan oleh suami istri yang sholeh dan sholehah yang sama-sama ingin mewujudkan pengamalan nilai-nilai Islam.

Memilih pasangan hendaknya tak sekedar mengandalkan rasa cinta dan empati belaka, tetapi atas dasar kebaikan agama dan akhlaknya. Dengan kesholehan suami ia dapat melaksanakan perannya yang lebih besar dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh anggota keluarga, ia juga dapat berperan dalam menjaga keistiqomahan, ibadah dan akhlak istri dan anak-anaknya sebagaimana ia dapat memenuhi kebutuhan lahiriah.
Dalam syari’ah Islam, menikah dengan pria yang berbeda agamanya adalah haram. Sedangkan dalam undang-undang perkawinan, hukumnya tidak sah. Namun dalam pengertiannya tetaplah sama antara syari’ah Islam dan UU perkawinan di masyarakat. Hal ini sesuai dengan UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama. Artinya, bila agama (Islam) menyatakan perkawinan itu sah, maka dalam hukum Indonesia begitu juga.

Petugas KUA akan menolak pencatatan perkawinan dimana mempelainya berbeda agama. Begitu juga dengan wali ataupun saksinya (kalau mereka konsisten dengan ajaran Islam). Sehingga, apabila pernikahan tersebut tetap dilaksanakan, tidak berkekuatan hukum dan tidak mendapatkan surat nikah selamanya.
Nah bagaimana dengan pasangan-pasangan nekat seperti para artis yang menghalalkan hal itu? Mengapa mereka bisa lolos dalam berproses?
Penyelundupan hukum pun terjadi yaitu dengan cara menikah dihadapan KUA maupun Gereja, atau menikah dihadapan pegawai kantor catatan sipil dengan memanipulasi identitas, bahkan ada juga yang menikah di luar negeri yang menghalalkan pernikahan semacam ini. Yang namanya “menyelundup” tentu akan membawa dampak yang tidak baik, karena tidak ada kepastian hukum, status hukum istri dan anak.

Sungguh disayangkan hal demikian bisa terjadi, mungkin status hukum bisa diusahakan dan dibeli, lantas bagaimana dengan status agama? Bagaimana kita dimata Allah? Wallahualam bishawab.

(Qudwah, dari berbagai sumber)
 
Top