05/05/2011 13:16
Enam Pertanyaan Al-Ghazali

الحمد لله رب العالمين وبه نستعين على امورالدنيا والدين. أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله.  اللهم صل على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه أجمعين. اما بعد
فياعباد الله أوصيكم وإياي بتقوى الله فقد فاز المتقون, وقال الله تعالى فى القرأن العظيم كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ الله العلي العظيم



Jama’ah Jum’ah Rohimakumullah

Pada kesempatan khutbah kali ini, pertama-tama saya mengajak pribadi saya sendiri dan kaum muslimin umumnya untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah swt. Hanya dengan taqwalah bekal yang untuk menghadap-Nya nanti. Fainna khairaz zadit taqwa. Jangan ragukan janji Allah, bahwa ia hanya melihat seseorang dari ketaqwaannya bukan dari sisi lainnya.
Jama’ah yang dimuliakan Allah
Dalam khutbah kali ini saya hendak mengisahkan sebuah cerita diskusi antara Imam Al-Ghozali dengan muridnya. Ada enam pertanyaan yang dilontarkan beliau kepada para muridnya, dan kesemuanya sangat bagus untuk kita simak niali-nilai yang terkandung di dalamnya.

Suatu ketika Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam Al Ghozali bertanya.
Wahai murid-muridku sekalian, coba kalian jawab "Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?"
Murid-muridnya menjawab "orang tua,guru,kawan,dan sahabatnya".
Imam Ghozali menjelaskan semua jawapan itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "MATI".

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayaka (Ali Imran 185)

Kematian adalah sesuatu yang tiada seorang pun tahu kapan ia akan datang. Karena itu manusia harus selalu bersiap diri menghadapinya. Terkadang ia jauh terasa, padahal ia dekat dalam kenyataannya. Janganlah kita lengah dalam memahami hal ini, jangan sekali-kali merasa diri jauh dari mati, karena itu membuat kita besar hati. Justru kerahasiaannya harus kita maknai bahwa mati bisa terjadi kapan saja dan dimana saja tanpa adanya peringatan dari-Nya. Inilah yang hendak disampaikan oleh Al-Ghazali kepada murid-muridnya.

Lalu Imam Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua.... "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?"
Murid -muridnya menjawab "negara Cina, bulan, matahari dan bintang -bintang".
Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahawa semua jawapan yang mereka berikan itu adalah benar. Tapi yang paling benar adalah "MASA LALU". Walau dengan apa cara sekalipun kita tidak dapat kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.

Ini tepat dengan sebuah hadits yang menganjurkan bahwa kehidupan kita hari ini harus jauh lebih baik dari kemaren, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Jika difikir lebih dalam, maka yang perlu diperhatikan adalah waktu. Waktu tidak akan datang berulang untuk kedua kali, sekali kita bertindak kesalahan kita tidak bisa merevisinya lagi. Paling banter kita hanya bisa bertobat dan berharap pengampunan. Sebagian pepatah bilang waktu adalah sesuatu yang paling berharga. Emas, harta bisa dicari tapi waktu yang sudah berlalu tak mungkin hadir kembali.

Jama’ah Jum’ah yang berbahagia
Mati dan waktu adalah dua rahasia yang ada di genggaman-Nya. Kita sebagai hamba hanya bisa berharap dan berdo’a semoga Allah swt memberikan anugrah kepada kita agar mampu memanfaatkan waktu untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian.

Lalu Imam Ghozali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga.... "Apa yang paling besar di dunia ini?". Murid-muridnya menjawah "gunung, bumi dan matahari".
Semua jawapan itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "NAFSU"

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَـٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَـٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai. (QS. 7:179) (Al A'Raf 179).

Nafsu adalah hal penentu pada diri manusia. Ingin bahagia yang hakiki? Kendalikanlah nafsumu, ingin celaka selamanya? Turuti nafsumu... pengendalian nafsu adalah kunci dalam hidup ini. Itulah pesan tersembunyi dari al-Ghazali bahwa nafsu adalah hal paling besar, hal yang paling menentukan....
  
Kemudian al-Ghazali meneruskan pada Pertanyaan keempat adalah, "Apa yang paling berat di dunia ini?". Murid-murid Ada yang menjawab "besi dan gajah".
Semua jawapan adalah benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah "MEMEGANG AMANAH"

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, (QS. 33:72) (Al Ahzab 72).

Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini.
Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak dapat memegang amanahnya.

Jama’ah yang dimuliakan Allah
Pertanyaan Imam al-Ghazali yang kelima adalah, "Apa yang paling ringan di dunia ini?"...
Ada yang menjawab "kapas, angin, debu dan daun-daunan".
Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan Sholat. Gara-gara pekerjaan kita meninggalkan sholat, gara-gara bermesyuarat kita meninggalkan sholat.

Kita harus ingat bahwa sholat adalah hal pertama yang ditanyakan Allah kepada manusia. Dan sholat adalah kewajiban terpenting di dunia ini. Namun anenya, meski demikian sholat adalah hal termudah yang sering dilewatkan oleh orang-orang muslim? Ringan sekali mlewatinya.

Dan pertanyaan keenam adalah, "Apakah yang paling tajam di dunia ini?"...
Murid-muridnya menjawab dengan serentak, "pedang".
Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah "LIDAH MANUSIA" Karena melalui lidah, Manusia selalunya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

Ingatlah sebuah hadits yang menerangkan:


المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده 
seorang muslim adalah orang bisa menjaga orang muslim lainnya dari lisannya dan tangannya.

Khirnya, di penghujung khotbah ini saya mengajak diri saya dan jama’ah sekalian bila ada waktu sering-seringlah merenung bahwa mati akan segera menjemput kita, insyaallah diri kita akan termotifasi untuk mengendalikan nafsu, menjalankan sholat, menjaga lidah dan memegang amanah.
بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرَ الْحَكِيْمَ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ العَلِيْمُ, وَأَقُوْلُ قَوْلى هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

20/04/2011 11:51
Meluruskan Makna Jihad

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أخْرَجَ نَتَائِجَ أفْكاَرِنَا لِإِبْرَازِ أَيَاتِ
وَالَّذِيْ أفْضَلَنَا بِالْعِلْمِ وَاْلعَمَلِ عَلَى سَائِرِ مَخْلُوْقَاتِهِ ، أَشْهَدُ أنْ لاَ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ يُمْلَئُ بِجَمِيْعِ اْلفَضَائِلِ ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَذُرِّيَّاتِهِ وَعِتْرَتِهِ الطَّاهِرِيْنَ إلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ اْلقُرْآنِ الْعَظِيْمِ : كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أيها الناس إن دمائكم وأموالكم وعرضكم حرام عليكم كحرمة يومكم هذا, فى بلدكم هذا

Jama’ah Jum’ah Rohimakumullah...
Marilah kita meningkatkan nilai ketaqwaan kita kepada Allah swt. Hendaklah kita menyadari bahwa Allah swt melihat manusia hanya dari ketaqwaannya, bukan kepahlawanannya, bukan keangkuhannya bukan pula keberaniannya menjadi bomber dan martir. Sama sekali itu tidak menjamin ketaqwaan seseorang di mata Allah swt.

Jama’ah yang dirahmati Allah...
Ledakan bom di masjid Maplresta Citrebon minggu ini menyisakan pertanyaan besar bagi masyarakat dunia, benarkah Islam mengandung rahmatan lil-alamin, mana buktinya? masihkah Islam menjadi agama yang penuh berkah terhadap alam semesta? Bukankah kejadian itu menjadi pertanda bahwa dalam ajaran Islam terdapat terorisme?

Prinsip dasar Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. adalah penyempurnaan etika manusia (li-itmam makarim al-akhlaq). Sehingga keberadaan agama Islam adalah untuk membentuk sebuah tatanan kehidupan manusia yang harmonis, damai dan sejahtera. Islam diturunkan ke bumi ini sebagai pedoman untuk umat manusia dalam mengemban misi idealnya sebagai khalifah Allah. Artinya, umat Islam dituntut untuk selalu menjaga keharmonisan hidup di tengah dua karakter yang ada dalam dirinya: ifsad fil-ardl (berkecenderungan membuat kerusakan di muka bumi) dan safk al-dima’ (potensi konflik antar sesama manusia). Tentunya, dalam persoalan fundamentalisme, radikalisme, maupun terorisme, Islam mempunyai pandangan dan sikap yang jelas dan juga tegas.

fundamentalisme bahasa Arabnya ialah “al-ushuliyyah”, berarti “mendasar atau disiplin dalam menjalankan kewajiban agama”. “muslim fundamental” berarti seorang muslim yang berhati-hati dalam menjalankan ajaran Islam, seperti shalat lima waktu secara berjamaah, menghindari sesuatu yang tidak jelas kehalalannya.

Sedangkan “radikalisme” bahasa Arabnya adalah “syiddah al-tanatu’”. Artinya, keras, eksklusif, berpikiran sempit, rigid, serta memonopoli kebenaran. Muslim radikal adalah orang Islam yang berpikiran sempit, kaku dalam memahami Islam serta bersifat ekslusif dalam memandang agama-agama lainnya.

Jama’ah Jum’ah Rohimakumullah...
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dikisahkan, ketika Rasulullah Saw membagi fai’ atau harta rampasan perang di daerah Thaif dan sekitarnya, tiba-tiba seorang sahabat yang bernama Dzul-Khuwaishirah dari Bani Tamim melayangkan protes kepada beliau. “Bersikap adillah, wahai Muhammad!”. Nabi Muhammad pun dengan tegas menjawab, “Celaka kamu! Tidak ada orang yang lebih adil dari aku. Karena apa yang kami lakukan berdasarkan petunjuk Allah!” Setelah Dzul-Khuwaishirah pergi, Nabi Muhamamd Saw bersabda,

سيكون بعدي من أمتي قوم يقرؤن القرأن لايجاوز حلقمهم هم شر الخلق والخليقة
(Suatu saat nanti akan muncul sekelompok kecil dari umatku yang membaca al-Quran, namun tidak mendapatkan substansinya. Mereka itu sejelek-jeleknya makhluk di dunia ini).

Hadis sahih di atas kemudian terbukti setelah Nabi Muhammad Saw. wafat. Pada 35 H, Khalifah Usman ibn Affan terbunuh secara mengenaskan oleh sekelompok umat Islam yang ekstrem. Peristiwa ini kemudian terulang pada masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib yang juga terbunuh oleh kalangan ekstrem dari umat Islam. Komunitas ekstrem tersebut, sungguh pun pada mulanya bernuansa politik, tetapi perkembangan selanjutnya dirajut dalam sebuah ideologi yang dikenal dengan faham Khawarij. Hal yang menarik, saat Khalifah Ali bin Abi Thalib masih hidup, kelompok ekstrem Khawarij ini sempat memvonis kafir Khalifah Ali bin Abi Thalib atas dasar kesalahan beliau yang membenarkan arbitrase atau tahkim dengan Mu’awiyah. Soalnya, bagi Khawarij, yang berlaku adalah doktrin “laa hukma illa Allah”, bahwa arbitrase itu hanya milik Allah. Khalifah Ali ibn Abi Thalib pun menangkis diplomasi mereka dengan kata-kata singkat, “Untaian kata yang benar, namun tendensius dan mengarah pada yang batil”.

Maka gelombang umat Islam radikal yang berkembang saat ini mempunyai sejarahnya, mereka terpengaruh pada pola-pola Khawarij di masa periode awal sejarah umat Islam. Kelompok umat Islam radikal ini tidak hanya menggelisahkan kalangan non-muslim. Umat Islam pun terkena dampaknya. Karenanya, menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam untuk meluruskan pemahaman mereka atas agama Islam. Sikap mereka yang ingin menempuh jalur apa saja, menyalahkan siapa saja yang tak sama pemahamannya, merupakan refleksi dari pemahaman mereka yang “sathiyyah” (setengah-setengah), rigid dan belum tuntas terhadap ajaran Islam.

Dengan demikian, para hadirin Jama’ah Jum’ah
Kita patut prihatin atas stigmatisasi umat Islam akhir-akhir ini. Hanya karena perbuatan segelintir umat Islam yang sangat dangkal pemahamannya atas ajaran agama, umat Islam secara keseluruhan terkena dampaknya. Umat Islam tidaklah dalam posisi vis-à-vis dengan non-muslim. Umat Islam harus hidup di tengah-tengah masyarakat plural dengan damai. Seperti dicontohkan Rasulullah Saw. saat melihat seorang Yahudi yang dibunuh orang Islam secara zalim. Saat itu beliau bereaksi dengan keras: “Man-qatala dzimmiyan fa ana khasmuh” (Barangsiapa yang membunuh non-Muslim, maka ia akan berhadapan langsung dengan saya). Pola hidup berdampingan seperti inilah yang perlu ditiru umat Islam. Pelaksanaan amar ma’ruf (mendorong untuk berbuat baik) haruslah lebih diutamakan daripada  nahy ‘anil munkar (melarang berbuat kemungkaran).

Ini misalnya yang ditunjukkan oleh para sahabat Nabi. Khalifah Umar ibn al-Khattab pernah tidak menghukum pencuri di saat musim paceklik dan masa kelaparan. Dari sini sebuah kaidah agama muncul, yang menyebutkan, “Man kana amruhu ma’rufan, fal yakun bil-ma’ruf. Artinya, siapa yang memerintahkan kebaikan, maka haruslah dengan cara yang baik pula.

Jama’ah Jum’ah yang Berbahagia...
Lalu, Bagaimana dengan ajaran tentang jihad yang sering dijadikan alasan radikalisme dalam Islam?
Kata ‘jihad’ berasal dari kata kerja ‘jahada’, berarti usaha, upaya. Jadi, ber-‘jihad’ adalah membangun sesuatu yang sifatnya fisik maupun non-fisik. Sebutan lain yang berasal dari akar kata jihad ini, pertama, adalah “ijtihad”, yang berarti usaha membangun sisi intelektualitas manusia, seperti ijtihad para ulama atau kiai dalam forum bahtsul masail. Kedua, ‘mujahadah’, yang berarti upaya sungguh-sungguh membangun spiritualitas manusia. Kemudian dalam perkembangannya kemudian, jihad mengarah pada pengertian tertentu yang menekankan sesuatu yang sifanya fisik atau material.  Sedangkan ijtihad dan mujahadah penekanannya kepada non- fisik atau immaterial. Masing-masing dari ketiganya ini menempati nilai dan posisi tersendiri dalam Islam.

Dari ketiga kata tersebut di atas, ternyata kata ‘jihad’ mendapatkan perhatian lebih dibanding dua kata lainnya. Hanya saja pengetahuan yang terbatas akan referensi Islam mengakibatkan tema jihad dipahami sebagai sebuah gerakan fisik yang berkonotasi kekerasan, kekejaman, kebrutalan dan bahkan pertumpahan darah. Trend pemaknaan jihad seperti ini makin diperparah dengan kemunculan beberapa tragedi kemanusiaan yang diklaim sebagai akibat dari gerakan “Islam garis-keras”. Opini dunia pun mengarah kepada Islam. Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin, agama penabur kasih bagi seluruh alam, lagi-lagi menjadi tergugat.

Jama’ah Jum’ah yang berbahagia...
Term “jihad” dilansir dalam al-Qur’an sebanyak 41 kali. Kata tersebut secara lughawi “jahada-yujahidu-jihad wa mujahadah”. Karena itu, jika kita membincangkan “jihad” paling tidak ada dua terma lain yang memiliki kemiripan, yaitu ijtihad dan mujahadah. Baik jihad, ijtihad maupun mujahad berasal dari satu akar kata (musytaqqat) yang memiliki makna keseriusan dan kesungguh-sungguhan.

Untuk memperluas wacana kita dalam diskursus “jihad”, dapat kita rujuk kepada salah satu kitab yang selaku dikaji di pesantren-pesantren, yakni kitab I’anatut Thalibin syarh Fathul Mu’in. Muallif kitab tersebut dengan bahasa sederhana mengemukakan suatu ta’bir yang memiliki makna dan implikasi luar biasa. Menurutnya ”al-jihadu fardhlu kifayatin marratan fi kulli ‘aam”, bahwa jihad itu hukumnya fardhlu kifayah dalam setiap tahun. Kemudian ditambahkan pula, dalam bentuk jihad itu ada empat macam, pertama, itsbatu wujuudillah; kedua, iqamatu syari’atiilah, ketiga qital fi sabilillah dan keempat daf’u dlararil ma’shumin, musliman kana au dzimmiyyan.

Bentuk jihad pertama adalah itsbatu wujudillah, yaitu menegaskan eksistensi Allah swt di muka bumi, seperti dengan melantunkan adzan, takbari serta bermacam-macam dzikir dan wirid. Bentuk kedua adalah iqamatu syari’atillah, menegakkan syariat Allah (baca: nilai-nilai agama), seperti shalat, puasa, zakat, haji, nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebenaran, dan sebagainya. Bentuk ketiga, al-qital fi sabilillah, berpegang di jalan Allah, artinya jika ada komunitas yang memusuhi kita dengan segala argumentasi yang dibenarkan agama, maka kita baru dibenarkan berperang sesuai dengan rambu-rambu yang ditetapkan Allah. Bentuk keempat, daf’u dlararul ma’shumin musliman kana au dzimmiyyan, yakni mencukupi kebutuhan dan kepentingan orang yang harus ditanggung (oleh pemerintah) baik itu yang muslim maupun kafir dzimmi (termasuk orang kristani, majusi, yahudi serta pemelum-pemeluk agama lainnya yang bukan menjadi musuh). Cara pemenuhan kebutuhan tersebut ditambahkan mushannif I’anah, dengan mencukupi sandang, pangan dan papan. Kalau kita implementasikan di negara kita, peranan Bulog, Perumnas, pabrik tekstil dan sejenisnya jelas menjadi tanggungan pemerintah dan wajib dikelola secara adil dan benar untuk memenuhi kepentingan 200 juta lebih anak bangsa, jika tidak maka pemerintahan tersebut tergolong fajir dan lalim.

Para hadirin Jama’ah Jum’ah Rohimakumulla...
Ingatlah sejarah bangsa kita, dari keempat model jihad tersebut, Rais Akbar NU, Hadlratus-Syaikh KH.Hasyim Asy’ari merupakan ulama yang pernah menterjemahkan makna “jihad” secara kontekstual di bumi Indonesia. Tatkala serdadu sekutu yang dipelopori Inggris datang di Surabaya pada bulan November 1945, beliau secara tegas mengeluarkan resolusi jihad guna memerangi sekutu. Perang yang dimaksud Hadlratus-Syaikh sama sekali tidak dimaksudkan membela ‘agama” an-sich, tetapi guna membela tanah air yang disitu melindungi semua komunitas, baik muslim, kristen, hindu, budha, konghuchu, aliran kepercayaan maupun lainnya.

Hal yang menarik dan perlu dicermati adalah rumusan makna jihad sebagai upaya mengayomi dan melindungi orang-orang yang berhak mendapatkan perlindungan, baik muslim atau non-muslim. Dalam konteks kekinian, rumusan jihad ini akan mendapatkan relevansinya dan terasa membumi ketika seseorang melakukan langkah-langkah aktualisasi berikut -- sebagaimana yang dirumuskan para ulama klasik:
1.    al-Ith’am (jaminan pangan)
Jihad dengan mengupayakan masyarakat sekeliling agar mendapatkan hak kelangsungan hidup, seperti sembako, dengan harga terjangkau, santunan bagi masyarakat terlantar, subsidi bagi yang tidak mampu, dan lainnya.
2.    al-Iksa’ (jaminan sandang)
Jihad dengan memperjuangkan agar masyarakat mampu memperoleh kebutuhan sandang secara cukup, seperti harga tekstil terjangkau, bahan baku tekstil tercukupi, tersedianya pakaian yang sesuai dengan kemampuan masyarakat, dan lainnya.
3.    al-Iskan (jaminan pangan)
Jihad dengan mengusahakan agar masyarakat mampu mendapatkan kebutuhan tempat tinggal, seperti pengadaan rumah sederhana dengan harga terjangkau, melindungi masyarakat dari jerat kredit memberatkan dari para pengembang real estate, dan lainnya.
4.    Tsaman al-dawa’ (jaminan obat-obatan)
Jihad dengan mengupayakan agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya atas obat-obatan. Masyarakat diberi kesadaran bahwa tindakan preventif perlu dilakukan agar diri kita terhindar dari sakit dan ketergantungan kepada obat-obatan, seperti: memasyarakatkan obat generik, sosialisasi gaya hidup sehat, menjaga kebersihan lingkungan, subsidi obat murah bagi masyarakat tidak mampu, dan lainnya.
5.    Ujrah al-Tamridl (jaminan berobat)
Jihad dengan mengusahakan agar orang-orang yang jatuh sakit tidak terbebani oleh ongkos berobat yang tidak terjangkau. Masyarakat yang terserang penyakit harus mendapatkan layanan yang cukup hingga sembuh. Jihad ini pada tataran aplikasi dapat berbentuk subsidi bagi penderita penyakit, pengadaan puskesmas dengan layanan yang baik dan murah, pengobatan gratis bagi yang tidak mampu, dan lainnya.
Lima kebutuhan dasar (mabadi’ khaira ummah) ini adalah orientasi perjuangan Nabi Muhammad saw ketika berada di Madinah. Lima dasar ini jika benar-benar realisasinya akan melahirkan muslim militan dan fundamentalis, yaitu orang Islam yang berhati-hati dalam menjalankan ajaran Islam.

Jama’ah Jum’ah yang Mulia..
Akhirnya, kita memang harus benar-benar memahami makna “jihad”. Jihad merupakan upaya pencurahan tenaga secara fisik yang diproyeksikan untuk mengimplementasikan pesan-pesan Tuhan di muka bumi guna mengakurasikan tugas manusia sebagai khalifah-Nya. Berperang dengan angkat senjata hanyalah salah satu dari ribuan macam mode jihad, itupun disertai persyaratan yang harus dipenuhi secara ketat dan syar’i dalam berperang.


بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرَ الْحَكِيْمَ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ العَلِيْمُ, وَأَقُوْلُ قَوْلى هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

02/03/2011 18:02
Mari Bersama Membangun Moral Bangsa

Moh. Sofwan Al-Hafidz
(Pengurus MWC NU Tanjung Priok)

الحمد لله رب العالمين وبه نستعين على امورالدنيا والدين. أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله.  اللهم صل على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه أجمعين. اما بعد
فياعباد الله أوصيكم وإياي بتقوى الله فقد فاز المتقون, وقال الله تعالى "ياأيهاالذين أمنوا اتقوالله حق تقاته ولاتموتن إلا وأنتم مسلمون" وقال النبي صلى الله عليه وسلم: اتق الله حيثما كنت واتبع السيئة الحسنة تمحوها وخالق الناس بخلق حسن. صدق الله العلي العظيم وصدق رسوله النبي الحبيب الكريم, والحمد لله رب العالمين. 

Hadirin Jama’ah Jum’ah rahimakumullah
Marilah kita meningkatkan taqwa kita kepada Allah swt. semoga setiap perilaku kita senantiasa dalam kontrol yang Maha Kuasa, sehingga kita semua terhindar dari berbagai godaan yang menyesatkan kita dari tuntunan agama-Nya. Tidak hanya godaan dosa besar, tetapi juga godaan yang menggoyahkan kepribadian kita sebagai sorang muslim yang bertaqwa.

Hadirin Jama’ah Jum’ah yang Berbahagia    
Kita semua mengerti dan faham bahwa moralitas merupakan pranata yang paling utama dalam menata masyarakat dan bangsa. Berbagai centeng-preneng kasus yang terjadi di negeri ini, mulai dari problema sosial, ekonomi, kultural, budaya maupun agama ternyata tak bisa dipahami secara tehnis-mekanis belaka. Sudah berapa banyak seminar diadakan sudah seberapa sering pelatihan dilaksanakan, dan sudah tak berbilang khutbah-khutbah diperdengarkan. Seolah semuanya seperti angin lalu. Tak ada imbas dan manfaatnya. Karena sesungguhnya seruan itu dianggap formalitas belaka. Inilah tanda-tanda kemerosotan budi di negeri ini. Semua orang saling menilai dan mencurigai, hampir tidak ada orang yang bisa dianggap baik, bahkan orang tua dikritik, ulama dicaci, pemerintah didemo apalagi teman sebaya, hampir tak ada harga. Lantas siapa yang hendak di dengar. Bukankan Allah swt berfirman dalam surat al-‘Ashr,

وَالْعَصْرِ  إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ  إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Demi waktu, Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi, Kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan, dan saling menasihati untuk kebenaran, dan saling menasihati untuk kesabaran.

Jika nasehat-nasehat tak dianggap, Apa gerangan yang terjadi? Bukankah ini menunjukkan kemerosotan akhlaq yang paling mengerikan?

Jam’ah Jum’ah rahimakumullah   
Kata moral sering diidentikkan dengan budi pekerti, adab, etika, tata krama dan sebagainya. Dalam bahasa arab sering disebut dengan kata al-akhlaq atau al-adab. Al-Akhlaq merupakan bentuk jamak dari kata “al-khuluq”, artinya budi pekerti atau moralitas. Kata yang disebutkan hanya dua kali dalam al-Quran pertama dalam al-Syu’ara 137 yang berbunyi:

إِنْ هَذَا إِلَّا خُلُقُ الْأَوَّلِينَ
Yang artinya:
(agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu

dan yang kedua dalam surat al-Qalam 4;
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Yang artinya:
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung

 pada mulanya kata khuluq ini diproyeksikan sebagai sandingan kata “al-khalq” yaitu ciptaan. Sungguhpun berasal dari akar kata yang sama (kh-l-q), kedua istilah tersebut memiliki arti yang bertolak belakang. Al-Khuluq merupakan karakteristik ketuhanan yang bersifat immateri dan permanen. Sedangkan al-khalq sebagai partner keberadaan manusia yang bersifat materi, bisa dilihat dan sementara. Keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Meniadakan salah satunya berarti akan memudarkan jati diri manusia. Karena itu, manusia sejati (insan al-kamil) adalah pengungkapan ahsan taqwim, format ciptaan Tuhan yang terbaik, baru bisa terwujud jika antara al-khuluq memiliki irama dan ritme yang selaras dengan al-khalq.
   
Hadirin Jama’ah Jum’ah rahimakumullah
Kita semua tahu bahwa selain diberi hati nurani yang senantiasa menegakkan ciri ketuhanan (al-khuluq), dalam diri kita juga terdapat hawa nafsu yang cenderung tergiur oleh materi yang nisbi dan instan. Setiap saat terjadi tarik menarik antara keduanya. Jika kemenangan dipihak nafsu, manusia akan turun derajad dan moralnya. Sedangkan jika hati nurani mampu mengungguli nafsu, orang tersebut akan naik derajadnya, moralnya terpuji dan melebihi makhluk Tuhan lainnya.
    Manusia yang terakhir inilah yang layak menjadi wakil Tuhan di muka bumi (khalifatullah fi al-ardhi) untuk mengelola alam semesta. Sebaliknya, apabila dunia seisinya ini diurus oleh tangan-tangan manusia yang bermoral rendah, yang tak mampu menyeimbangkan antara format al-khuluq dan al-khalq, pastilah-cepat atau lambat-kehancuran dan kebinasaan akan menimpa dunia. Kisah Qabil, Namrud, Fir’aun, Qarun, kafir Quraisy,  dan sebagainya adalah sebagian tamsil manusia yang menyalahi karakter Ilahiyah dalam mengimplementasikan diri sebagai wakil Tuhan di bumi.
    Moralitas merupakan sesuatu yang dilakukan bukan diucapkan, tindakan bukan tulisan, pelaksanaan bukan kekuasaan, pengamalan bukan hafalan, kenyataan bukan penataran, esensi bukan teori, realitas bukan identitas, dan seterusnya. Eksistensinya tidak bisa dibuat-buat, dipalsukan maupun sekedar simbolik. Canggihnya teori, banyaknya ajaran, tingginya kedudukan dan jabatan, indahnya paras wajah, melimpahnya harta bukanlah jaminan akan baiknya moral seseorang. Tidak mustahil, orang yang miskin justru lebih bermoral ketimbang mereka yang berduit, rakyat jelata lebih bermoral ketimbang pejabat.
    Moralitas yang luhur merupakan karakteristik ketuhanan yang melekat pada diri manusia dan bersifat universal, kekal dan esensial. Allah swt. akan memilih diantara hamba-hamba-Nya yang taat untuk menampakkan karakteristik tersebut. Perbedaan ras, golongan, suku bangsa, bahasa, negara bahkan agama tidak menjadi penghalang bagi realisasi moralitas mulia. Eksistensinya  bersifat lintas etnis, lintas agama, budaya dan bahasa.
    Tidaklah musykil, seseorang yang secara formal mengaku sebagai penganut agama tertentu, hafal kitab sucinya, faham norma-normanya, tapi praktiknya justru bertolak belakang. Malah orang yang tak mengaku beragama secara formal, justru lebih bermoral. Na’udzubillahi min dzalik.

Jama’ah Jum’ah yang disayangi Allah
    Marilah kita bersama-sama saling mengingatkan, bahwa dunia ini hanyalah sementara. Akhirat menenti kita selamanya. Hendaknya kita perkuat posisi hati nurani kita dengan berpegang kepada ajaran Islam. Jika secara pribadi kita lemah memahami Islam, marilah kita dengarkan pengajian para ustadz dan kyai. Siapapun mereka, dari manapun organisasinya, jikalau memang yang diucapkan bermanfaat bagi diri kita, alangkah baiknya kita ambil suritauladannya. Tidak perlu kita memagari diri dengan mencoba melihat detail siapa yang berbicara bukankah dia adalah mantan ketua partai A. Atau dulu kan dia direktur Perusahaan B. Siapapun yang berbicara jika isi dan kandungan informasinya berguna hendaklah kita hormati dan pelajari. Seperti kata pepatah arab Undzur maqal wa la tandhur man qal.  Perhatikan isinya, jangan lihat siapa yang berbicara.

Para hadirin Jam’ah Jum’ah yang dimuliakan Allah
    Marilah di akhir khutbah ini kita sama-sama merenung, sudah tepatkah sikap kita selama ini sebagai seorang muslim yang berada di tengah-tengah negara yang semakin menunjukkan kemerosotan etika ini. Yakinkah bahwa kita tidak ikut menurunkan moralitas bangsa ini. Benarkah kita sudah berusaha menjadi bagian yang tersadarkan? Marilah kita mulai dari diri sendiri. Dari hal yang paling terkecil, kita kurangi berprasangka buruk terhadap orang lain. Apalagi sesama muslim.

بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرَ الْحَكِيْمَ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ العَلِيْمُ, وَأَقُوْلُ قَوْلى هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
 
17/03/2011 14:56
Isitqomah Sebagai Konsep Diri dalam Membentuk Karakter Seorang Muslim
Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA
(Mustasyar PBNU)


الحمد لله الذى أمرنا بالعدل والاحسان, أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك له. وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الذى بصرنا من العمى وهدانا من الضلال. اللهم صل وسلم وبارك على رسول الله محمد ابن عبدالله وعلى اله واصحابه ومن تبعه باحسان الى يوم القيامة. أما بعد فياعبادالله أوصيكم واياي بتقوى الله وطاعته وافعلوا الخيرات واجتنبوا السيئات لعلكم تفلحون. قال الله تعالى فى القرأن العظيم أعوذ بالله من الشيطان الرجيم ان الذين قالوا ربنا الله ثم استقاموا تتنزل عليهم الملائكة الا تخافوا ولاتحزنوا وابشروا بالجنة التي كنتم توعدون

Hadirin Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah
Sembari bersila, duduk istiqamah di masjid ini, mari kita bersama-sama mendekatkan diri, menyatukan nurani kita dengan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala yang melidungi dan membimbing hidup kita. Upaya mendekatkan dan menyatukan diri  merupakan sesuatu yang niscaya bagi kita selaku hamba-Nya dan sebagai manifestasi ketundukan dan kepatuhan kita di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Pada kesempatan kali ini, khatib ingin mengangkat tema tentang istiqomah sebagai konsep diri membentuk karakter seorang muslim.

Hadirin Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah
Sebagai agama samawi, Islam memadukan antara dimensi esoterik (‘aqidah) di satu sisi, dan dimensi eksoterik (syari’ah) di sisi yang lain. Dimensi eksoterik ajaran Islam memuat ajaran paling fundamental yang menyangkut sistem keimanan dan kepercayaan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala sebagai pencipta alam semesta. Oleh karena itu, pemaknaan atas iman secara benar dan istiqomah dimaksud untuk mestimulasi rasa spiritualisme keagamaan yang paling asasi dalam wujud penghambaan dan pengabdian secara total kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Istiqomah berasal dari kata Qawama yang berarti tegak lurus. Kata istiqomah selalu dipahami sebagai sikap teguh dalam pendirian, konsekuen, tidak condong atau menyeleweng ke kiri atau ke kanan dan tetap berjalan pada garis lurus yang telah diyakini kebenarannya.

Hadirin Jama’ah Jum’at Rahimakumullah
Istiqomah adalah konsistensi, ketabahan, kemenangan, keperwiraan dan kejayaan di medan pertarungan antara ketaatan, hawa nafsu dan keinginan. Oleh karena itu mereka yang beristiqomah layak untuk dapat penghormatan berupa penurunan malaikat kepada mereka dalam kehidupan di dunia untuk membuang perasaan takut dan sedih dan memberi kabar gembira kepada mereka dengan kenikmatan surga. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ ﴿٣۰﴾٣۰
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu” (al-Fussilat:30).

Sikap istiqomah juga ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw sebagai identitas keislaman seseorang. Hal ini sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam:
عن سفيان بن عبد الله الثقفي قال قلت يارسول الله قل لى فى الاسلام قولا لا أسأل عنه أحدا غيرك قال قل أمنت بالله فاستقم (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Sufyan bin Abdullah al-Tsaqafi r.a berkata: Aku berkata Wahai Rasulullah...! katakanlah satu perkataan padaku tentang islam yang aku tidak perlu menanyakannya kepada orang lain. Sabda Rasullah saw: “ucapkanlah aku beriman dengan Allah kemudian beristiqomahlah kamu” (HR. Muslim)
Hadirin Jama’ah Jum’at Rahimakumullah
Hadits di atas menjelaskan bahwa sikap istiqomah tersebut akan berimplikasi kepada bagaimana seorang muslim secara terus menerus dan konsisten berpegang teguh dalam beriman kepada Allah. Istiqomah itu sendiri dapat memberikan efek positif yang sangat besar bagi kehidupan seorang muslim dalam membentuk citra dirinya.
Citra diri (self image) atau konsep diri (self concept) adalah gambaran seseorang mengenai dirinya sendiri. Walaupun citra diri mempunyai subyektivitas yang tinggi, tetapi hal itu merupakan salah satu unsur penting dalam proses pengembangan pribadi. Citra diri yang positif akan mewarnai pola sikap, cara pikir, corak penghayatan, dan ragam perbuatan yang positif juga, demikian pula sebliknya. Seseorang yang memandang dirinya cerdas misalnya, akan bersikap berfikir, merasakan dan melakukan tindakan-tindakan yang dianggapnya cerdas (sekalipun orang-orang lain mungkin menganggapnya berlagak pintar)
Sesuai dengan citra diri yang disebutkan, maka yang dimaksud dengan citra diri muslim adalah gambaran seorang mengenai dirinya sendiri, dalam artian sejauh mana ia menilai sendiri kualitas kemusliman, keimanan, dan kemuhsinannya berdasarkan tolak ukur ajaran Islam. Peneliaian ini benar-benar tidak mudah dan mengandung subjektivitas yang tinggi, tetapi hal ini dalam ajaran Islam sangat dianjurkan mengingat setiap muslim wajib melakukan muhasabah (evaluasi diri), menghisab dirinya sebelum ia dihisab di hari akhir.

Hadirin Jama’ah Jum’at Rahimakumullah
Seorang muslim yang melakukan istiqomah, maka ia telah melakukan sebuah usaha yang berkaitan dengan pengembangan pribadinya. Pengembangan pribadi adalah usaha terencana untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang mencerminkan kedewasaan pribadi guna meraih kondisi yang lebih baik lagi dalam mewujudkan citra diri yang diidam-idamkan. Usaha ini dilandasi oleh kesadaran bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menentukan apa yang paling baik untuk dirinya dalam rangka mengubah nasibnya menjadi lebih baik.

Seseorang disebut memiliki kepribadian muslim manakala ia dalam mempersepsi sesuatu, dalam bersikap terhadap sesuatu dan dalam melakukan sesuatu dikendalikan oleh pandangan hidup muslim. Karakter seorang muslim terbentuk melalui pendidikan dan pengalaman hidup. Kepribadian seseorang disamping bermodal kapasitas fitrah bawaan sejak lahir dari warisan genetika orang tuanya, ia terbentuk melalui proses panjang riwayat hidupnya, proses internalisasi nilai pengetahuan dan pengalaman dalam dirinya. Dalam perspektif ini, agama yang diterima dari pengetahuan maupun yang dihayati dari pengalaman rohaniah, masuk ke dalam struktur kepribadian seseorang. Orang yang menguasai ilmu agama atau ilmu akhlak (sebagai ilmu) tidak otomatis memiliki kepribadian yang tinggi, karena kepribadian bukan hanya aspek pengetahuan.

Hadirin Jama’ah Jum’at Rahimakumullah
Salah satu kegiatan pribadi adalah ‘menemukan makna hidup’ yang kiranya dapat dimodifikasi untuk merancang program pelatihan ‘menuju kepribadian muslim. Pelatihan menemukan makna hidup ini didasari oleh prinsip-prinsip panca sadar yakni: Pertama sadar akan citra diri yang diidam-idamkan. Kedua sadar akan kelemahan dan keunggulan diri sendiri. Ketiga sadar akan unsur-unsur yang menunjang dan menghambat dari lingkungan sekitar. Keempat sadar akan pendekatan dan metode penghambatan pribadi. Dan kelima sadar akan tokoh idaman dan panutan akan suri tauladan.

Hadirin Jama’ah Jum’at Rahimakumullah
Kesimpulan dari khutbah kali ini adalah bahwa seorang muslim yang melakukan istiqomah, maka ia telah melakukan sebuah usaha yang berkaitan dengan pengembangan pribadinya dan citra dirinya. Pengembangan pribadi adalah usaha terencana untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang mencerminkan kedewasaan pribadi guna meraih kondisi yang lebih baik lagi dalam mewujudkan citra diri yang diidam-idamkan. Usaha ini dilandasi oleh kesadaran bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menentukan apa yang paling baik untuk dirinya dalam rangja mengubah nasibnya menjadi lebih baik.
بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرَ الْحَكِيْمَ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ العَلِيْمُ, وَأَقُوْلُ قَوْلى هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
 
Top