Rekonstruksi Kiblat Kebijakan Ekonomi Politik Nasional
31/08/2010
Mochammad Maksum Machfoedz

Tafakkur-Muhasabah

Kebijakan Pangan Pemerintah atau populer disebut Government Food Policy,  merupakan seperangkat kebijakan yang teorisasi dan terapannya telah lama dilakukan oleh banyak negara. Dalam adopsinya, beragam tujuan sosial-ekonomi senantiasa dicanangkan teramat populis dengan dalih mengupayakan keadilan dan kesejahteraan rakyat, baik rakyat konsumen maupun produsen pangan, meski sebenarnya kepentingan politik citranya jauh lebih menonjol. Latar-belakang inilah yang selalu mewarnai kontroversialnya kebijakan, baik yang langsung berurusan dengan pangan maupun kebijakan nasional berpotensi implikatif terhadap pangan.

Oleh karenanya, kebijakan pangan yang secara alamiah berpotensi pro-kontra tersebut senantiasa memerlukan alat ukur untuk bisa mengawal mutu kebijakan dan efektifitas kemanfaatannya. Pada tingkat inilah, anasir tujuan pembangunan pertanian yang terbingkai dalam segitiga kritis: pertumbuhan, keadilan dan keberlanjutan (growth-equity-sustainability), yang memberikan kemanfaatan kepada P3: profit-planet-people: pembangunan ekonomi, kosmologi dan kemaslahatan manusia, dipilih sebagai perangkat evaluasi baik pada saat perencanaan, implementasi, dan implementasi kebijakan pangan khususnya dan kebijakan lain yang pada umumnya memiliki implikasi pangan yang multidimensi. Perspektif P-3 inilah yang hakekatnya merupakan amanat spiritualitas ke-Islam-an dalam membangun Bangsa.

Melalui penilaian sederhana, kontroversialnya kebijakan, ternyata telah terdeteksi pada tingkat paradigmatik supra makro yang telah sekian lama memanjakan industrialiasi non-agro, yang berbasis; padat modal, teknologi tinggi, bahan baku asing, modal dan tenaga ahli asing, yang semua IBI, import-based industries. Sayangnya proteksi ini gagal total mendewasakan industri non-agro yang justru semakin manja dan makin protektif. Padahal, pilihan ini telah dibangun berlebihan sekian lama melalui kemudahan fiskal, moneter, dan perdagangan yang memanjakan. Bahkan pemanjaan tersebut secara tidak adil telah menafikan eksistensi sektor pangan yang semakin termarjinalkan, stagnasi peluang ekonominya, dan tidak berkelanjutan.

Pada tingkat sektoral, kebijakan pangan murah, melalui segala perangkat kebijakan, termasuk kebijakan importasi, stimulus fiskal dan kebijakan HPP Perberasan yang tidak proporsional, merupakan penjabaran dari kepentingan dikotomi ekonomis yang dipilih bagi pemanjaan berlebihan terhadap sektor non-agro, at all cost. Akibatnya, sejumlah komoditas pangan strategis yang memiliki keunggulan komparatif justru kehilangan daya saing di kampung dan tanah air sendiri akibat terorisme yang disebar oleh ketidakadilan kebijakan yang diluncurkan.

Pada gilirannya, ketidak-adilan terhadap sektor pertanian, menyebabkan munculnya ketidak-adilan, stagnasi ekonomis, dan ketidak-berlanjutan pengembangan komoditas bersangkutan. Dalam mekanime inilah stagnasinya produksi daging dan susu sapi terjadi. Begitu pula yang dihadapi oleh petani kedele, industriawan tepung singkong MOCAF, petani tebu, petani buah dan sebagainya. Kemerosotan tersebut terjadi secara simultan dengan kemerosotan kedaulatan pangan dan kedaulatan rakyat tani dalam hal pengembangan usahatani dan sains petani sebagai sektor perekonomian berbasis dalam negeri (domestic based industry-DBI).

Kepentingan memanjakan IBI itupun akhirnya membuahkan karakter sistem ketahanan pangan RI yang, antara lain: (i) sangat supply-based management dengan importasi sebagai bemper; (ii) nyaris tidak menyentuh sisi konsumsi (demand-based) seperti persoalan daya beli, konsumsi berlebihan, selera konsumen dsb.; (iii) bias nabati dan terutama beras, tidak melirik potensi nabati lain dan apalagi hewani; (iv) bias kota-konsumen-industri dengan konsekuensi marjinalisasi terhadap rakyat tani; dan (v) jauh dari prinsip keterpaduan tujuan pembangunan pertanian: growth-equity-sustainability, pertumbuhan, keadilan dan keberlanjutan.

Dikotomi Ekonomis


Ada baiknya, merunut lebih ke belakang, melihat sejarah kebijakan pangan KIB yang memicu ketidakberdaulatan pangan. Ketika BPS pada awal Nopember 2005 memberitakan inflasi untuk Oktober 2005, sebesar 8,7% karena terpicu kenaikan harga BBM, paduan suara KIB: beras tidak boleh naik. Adalah naas rakyat tani dalam inflasi ketika itu: harga beras tidak boleh naik meski dia hanyalah komponen dan transmitter, bukan penyebab inflasi. Penghujung 2006 kembali diwarnai firman WB: perlu dimurahkannya beras. Menurut lembaga pelepas uang ini, kenaikan harga beras menyebabkan tambahan hampir empat juta orang miskin dan naiknya angka kemiskinan dari 15,97%, Maret 2005, menjadi 17,75%, Februari 2006. Amanat akhirus sanah itupun ditunjang dramatisasi WB tentang angka kemiskinan 49% kalau dipakai garis kemiskinan US$ 2,-. Semua itu pembenaran bagi dimurah-murahkannya beras.

Latar-belakang selera neoliberalistik dengan mengorbankan harga pangan yang harus murah ini senantiasa diupayakan dengan dalih populistik: daya beli publik rendah. Sampai hari ini, Agustus 2010. Romantisme pangan murah ini sudah kebablasen. Sementara, petani yang sudah miskin harus ikhlas untuk lebih miskin lagi, meski sebenarnya, kelemahan daya beli ini adalah akibat kemiskinan yang bersifat struktural. Adalah tanda tanya besar, mengapa lemahnya daya beli publik karena kemiskinan struktural tidak diatasi dengan pragmatisme fiskal dan special policy, tetapi melalui common policy dengan memurahkan beras yang accessible bagi siapa saja, termasuk PNS yang gajinya selalu naik, dan memaksa petani yang mayoritasnya Nahdliyyin untuk tetap bersabar memperpanjang kemiskinannya.

Pembenaran importasi karena rendahnya produktifitas, dan efisiensi domestik, serta murahnya impor, semakin dibesar-besarkan. Padahal sebenarnya, semua ini tentu harus komprehensif komparasinya karena terkait beragam hal, mulai tingkat mikro, sampai supra makro: capital cost, export subsidy, trade policy, monetary dan fiscal policies, internal maupun eksternal. Terlebih, komoditas pangan strategis sangat erat kaitannhya dengan kedaulatan dan HAM. Andai saja rupiah tidak diproteksi pada hari ini, rupiah pasti telah membalik kita jadi eksportir. Lebih jauh lagi, romantisme pangan murah telah menempatkan pangan dan pertanian sebagai: (i) pengendali inflasi, (ii) penyedia bahan baku murah, (iii) produsen pangan murah; (iv) tumbal ketahanan pangan; (v) bemper ketenagakerjaan; dan (vi) tumbal murahnya UMR.

Landasan legalpun dibangun untuk memurah-murahkan pangan ini. Untuk kasus beras misalnya, nalar menyesatkan juga didokumentasikan landasan legal perberasan  seperti Inpres 13/2005, Inpres 3/2007, Inpres 1/2008, 8/2008, sampai dengan Inpres 7/2009. Kecuali besaran angkanya sangat terbatas, konsistensi proporsionalitas dan rasionalitas perubahan terhadap kenaikan harga-harga dan inflasi sangat tidak kondusif bagi pengembangan sistem produksi perberasan nasional. Kepincangan proporsionalitas ditampilkan oleh Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3. Besar kemungkinan, itulah legitimasi untuk import maupun ekspor. Indikasi ini nampak sekali ketika syahwat para pemimpin sontak berubah dari orientasi impor ke ekspor ketika terjadi kenaikan tajam harga beras dunia.

Hasil kalkulasi proporsionalitas HPP menunjukkan dengan jelas bahwa dalam kondisi tanpa biaya penggilingan dan penanganan, Inpres 13/2005, 3/2007, 1/2008/ 8/2008, dan 7/2009, memiliki makna bahwa besaran rendemen penggilingan berturut-turut sekitar 64%, 65%, 66%, 65% dan 66%. Untuk berbagai Inpres tersebut nyata sekali bahwa angka rendemen jauh lebih besar dari angka kejamakan yang terjadi dalam realitas lapangan penggilingan. Angka-angka tersebut tidak hanya over optimistic, tetapi sekaligus mengandung impossibility berdasarkan kajian konfigurasi penggilingan yang dilakukan Deptan (2008), seperti terlihat pada Tabel 3.

Penyimpangan rendemen akan semakin jauh (68%) ketika dimasukkan pula biaya giling dan penanganan yang bisa berkisar Rp 200-Rp 400/kg.  Implikasinya, Inpres 13/2005 sampai Inpres 7/2009 yang harapannya memperbaiki nasib rakyat tani menjadi tidak jelas kemanfaatannya karena ’mengamanatkan’ harga beras harus lebih murah dari gabahnya, satu keajaiban yang tidak pernah terjadi di dunia. Akibatnya: seperti sekarang ini, harga beras naik sedikit, semua berteriak dan menekan Negara untuk menurunkannya. Hal ini akan lain sekali ceriteranya andaikata HPP berasnya Rp 6000/kg yang masih mentolerir lonjakan harga sampai Rp 7500/kg kalau ada batas toleransi lonjakan harga 25% untuk beras kualitas medium.

Kebiri Potensi Lokal

Untuk urusan lokalita dan diversifikasi, potensi dan pengalaman sangat berharga bisa diambil dari industri MOCAF, Modified Cassava Fluor. Ketika harga terigu merangkak naik menjelang eskalasi harga pangan dunia, secara ekonomis MOCAF sangat layak diproduksi, 2007. Kelayakan itulah yang mendorong beberapa daerah, seperti Kabupaten Trenggalek dan lainnya, berusaha investasi demi nilai tambah dan kesejahteraan petani singkong. Harapan yang lebih luas, pemakaian MOCAF akan menjadi substitusi sebagian dari konsumsi tepung terigu yang sangat membebani neraca pangan.

Sayangnya Kabinet KIB I melihatnya berbeda. Februari 2008, terigu dinilai KIB terlalu mahal dan dihapuslah BM, bea masuk. Karena dinilai masih kurang memadai untuk penurunan harga terigu, maka dihapuslah pula PPN, dimasukkan dalam kategori DTP, ditanggung pemerintah. Sempurnalah pembunuhan terhadap industri MOCAF nasional. Lebih jauh lagi, paket kebijakan Februari 2008 inipun dilakukan bagi kemudahan BM dan PPN importasi kedele.

Apa yang terjadi ketika harga beras dunia naik tajam sampai US$ 700, bahkan menembus US$ 1000/ton, Maret-Mei 2008? Mereka yang tadinya bersyahwat importasi, tiba-tiba saja birahi jangka pendeknya sontak berubah untuk berprakarsa eksportasi. Mereka yang pada bulan Februari membuat kebijakan untuk memudahkan import beras dan membangun legitimasi bahwa Republik ini defisit beras dan butuh import, tiba-tiba saja kampanye untuk eksport beras hanya dua bulan berselang sembari bernyanyi keras bahwa RI telah surplus: meski belum jelas adanya kenaikan produksi.

Sengaja atau tidak, syahwat ini didukung berbagai versi data produksi yang bisa surplus dan pro-ekspor atau defisit dan pro-impor. Indah sekali: Esuk Impor Sore Ekspor. Akhirnya ekspor itu batal karena keburu harga turun pertengahan 2008, dan sekedar mendukung politisasi swasembada.

Kebodohan seperti itu pula yang menempatkan Bangsa ini tidak jelas kedaulatannya dan membuahkan neraca importasi yang sangat memprihatinkan seperti ditunjukkan Tabel 4. Lebih memprihatinkan lagi, bahwa krisis pangan nasional selama ini, terlebih menghadapi kejutan produksi global akibat perubahan iklim, climate Change, cukup dihibur dengan mimpi swasembada 5 komoditas: beras-kedele-gula-jagung-daging sapi pada tahun 2014 yang teramat politis, tidak jelas skenario pembangunan dan road map-nya.

Rekonstruksi Kiblat Ekonomis

Alhamdulillah, hari-hari ini Bangsa kita diingatkan oleh krisis gandum global karena perubahan iklim. Bisa diramalkan bahwa harga gandum dan pangan dunia akan melonjak tajam. Akibatnya bagi RI yang makin didominasi Generasi Gandum tentu mudah dibayangkan. Semoga saja bangsa ini tersadar akan Salah Kiblatnya dan kemudian tafakkur, dan bertobat melakukan rekonstruksi terhadap Kiblat Kebijakan Ekonomi Politik Nasional.

Gambaran empiris yang sedikit diungkap cukup mengindikasikan bahwa kebangkitan ketahanan pangan yang berkedaulatan hanya dimungkinkan melalui rekonstruksi kebijakan ekonomi-politik nasional dalam bentuk perombakan struktural, structural adjustment, terhadap kebijakan moneter, fiskal dan perdagangan yang selama ini bias import-based economy, harus dihentikan dan dirubah menjadi berorientasi dan lebih adil bagi domestic-based economy, agro industri dan penguatan kedaulatan pangan nasional. Hanya itulah solusi pangan mendasar ketika tidak diinginkan bahwa ketahanan pangan nasional Negeri Agraris akan semakin tidak berdaulat, semakin berbasis dan terjebak pangan import, serta semakin memperpanjang kemiskinan rakyat tani produsen yang mayoritasnya adalah Nahdliyin,.. na’udzu billaaaah...

Tabel  1. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) menurut berbagai Inpres tentang Perberasan (Rupiah/kilogram)
KOMODITAS
INPRES 13/2005
INPRES 3/2007
INPRES 1/2008
INPRES 8/2008
INPRES 7/2009
GABAH KERING PANEN
1.730
2.035
2.200
2400
2640
GABAH KERING GILING
2.280
2.600
2.840
3040
3345
BERAS
3.550
4.000
4.300
4600
5060
Sumber: berbagai naskah Inpres.

Tabel 2. HARGA BAHAN BAKU (GKG)/kg beras menurut beragam Inpres tentang Perberasan, berdasarkan tingkat rendemen (dalam Rupiah)
Rendemen (%)
Kg GKG/ Kg Beras
Rp BB (13/05)
Rp BB (3/07)
Rp BB (1/08)
Rp BB (8/08)
Rp BB (7/09)
55
1,8182
4145
4727
5455
5455
6082
60
1,6667
3800
4333
4733
5000
6082
64
1,5625
3562
4063
4544
4688
5227
65
1,5385
3507
4000
4369
4616
5146
66
1,5151
3454
3939
4303
4545
5068
Sumber: perhitungan sederhana analisis rendemen.
Tabel 3: Pengaruh konfigurasi alsin penggilingan padi terhadap rendemen dan kualitas  
NO
KONFIGURASI PENGGILINGAN BERAS
Rendemen   (%)
Beras Utuh&Kepala (%)
1
Husker-Polisher
56,72
69,73
2
Cleaner-Husker-Polisher
59,13
73,45
3
Husker-Separator-Polisher
61,52
76,45
4
Cleaner-Husker-Separator-Polisher
64,34
84,52
5
Cleaner-Husker-Separator-Polisher- Grader
64,67
85,07
Sumber: Deptan (2008)
                         
                       Tabel 4. Angka Importasi beberapa komoditas strategis, 2009
NO
KOMODITAS
PROSENTASE IMPORT
1
Gandum dan Terigu
100
2
Bawang Putih
90
3
Susu
70
4
Daging Sapi
36
5
Bibit Ayam Ras
100
6
Kedela
65
7
Gula
40
8
Kacang Tanah
15
9
Jagung
10
10
Garam
70
               Sumber: berbagai sumber data (Maksum, 2010b)
* Penulis merupakan salah satu ketua PBNU
 
Top