Sebuah hadis qudsi menuturkan: “semua amal ibadah anak cucu Adan untuknya kecuali puasa. Sesunggunya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.”
Hadis ini tidak sekedar menerangkan keagungan Ramadlan dan amal-amal ibadah di dalamnya terutama puasa. Tetapi sekaligus menyiratkan penuturan Allah bahwa amaliah Ramadlan itu terkait langsung dengan Allah. Adalah sebagai ibadah yang masuk dalam kategori privasi di mana hanya pelaku ibadah itu dan Allah yang tahu.




Pada sisi lain, puasa Ramadlan sesungguhnya mengajak manusia agar jujur atas kelemahannya. Betapa tidak, sehari kerongkongan dan lambung tidak tersentuk makanan dan air sudah sangat terasa ketidakberdayaan. Jujurlah bahwa sesungguhnya diri ini tidak memiliki kemampuan apa-apa.


Maka hakikatnya puasa menuntun pelakunya kepada sikap keterusterangan terhadap Allah, terhadap diri, terhadap keluarga, masyarakat, dan terhadap semua anasir alam semesta, bahwa diri manusia itu berketergantungan. Yang ingin dibentuk melalui ibadah puasa adalah sikap keteguhan akan keyakinan dan sosial terhadap sesama.

Tidak mudah memang seseorang bisa menundukkan akunya dan berkiblat kepada cara pandang kejujuran. Kehidupan ini sangat tidak jarang dipenuhi dengan topeng-topeng. Orang rela berdusta hanya untuk – menurut pendapatnya—memuliakan diri dengan harta dan kedudukan. Orang kadang rela – karena ketidakterdidikan hatinya – mengklaim semua keberhasilannya atas jerih payah diri sendiri dan menyampingkan peran Allah. Maka orang itu menjadi sombong.


Oleh karena tidak mudah itu, Ramadlan menempati posisi sebagai mounth of training centre. Ramadlan sebagai pemusatan latihan masaal secara fisik dan mental. Oleh karena sebagai wadah penggodokan – kawah candra dimuka, maka semua ibadah dalam Ramadlan terutama puasa harus berorientasi kepada sebelas bulan pasca Ramadlan. Artinya tolak ukur keberhasilan Ramadlan in adalah pada sebelas bulan nanti sesudah Ramadlan.


Dasar pemikiran ini seharusnya menyadarkan semua orang yang beribadah Ramadlan terutama yang berpuasa untuk melakukannya penuh kejujuran dan kesungguhan. Itu artinya kepura-puraan tidak akan menghasilkan apa-apa. Ini yang diisyaratkan oleh sebuah hadis lainnya: “tidak sedikit orang berpuasa hanya mendapatkan lapar dan dahaga”.


Maka, di hadis lain ditemukan tuntunan bahwa kesucian diri sampai bak bayi itu adalah kesungguhan dalam menegakan ibadah Ramadlan: “barang siaba menegakkan amalaiah Ramadlan (dalam hadis lain: berpuasa Ramadlan) karena keimanan dan kesungguhan, maka dosa-dosanya yang diperbuat masala lalau diampuni.”

Kesungghan tersebut artinya harus berbanding lurus apa yang diperbuat pada bulan Ramadlan dengan apa yang diperbuat pada sebelas bulan pasca Ramadlan. Karenanya, jika pada Ramadlan bisa menundukkan hawa nafsu demikian juga pada pasca Ramadlan. Jika pada Ramadlan bisa tidak sombong, demikian pascanya. Jika pada Ramadlan gemar bersedekan, demikian juga pascanya. Jika pada Ramadlan penyayang dan penyantun, demikian juga pascanya. Jika pada Ramadlan senang silaturrahim, demikian juga pascanya. Jika pada Ramadlan – para wanita – berjilbab (pakaian longgar menutup aurat) dan berkerudung, demikian pasca Ramadlan.


Jika terjadi paradoksal antara apa yang dilakukan pada Ramadlan dan apa yang dilakukan sebelasa bulan pacsa Ramadlan, itu tanda-danda amaliah Ramadlannya mardud—tidak diterima Allah. Maka seharusnya, semua kalangan seperti ulama, pemerintah dan media masa—cetak dan elektronik, tidak hanya getol secara agresif dan energik memupuk umat untuk sebanyak-banyaknya beramal baik, tetapi pasca Ramadlan harus berbanding lurus.


Yang kita saksikan, sangat umum bahwa Ramadlan dijadikan sebagai bulan untuk memupuk mental hipokrik, munafik. Sebab kata-kata baik, sifat penyayang dan penyantun, yang wanita menutup aurat dan kebaikan-kebaikan lainnya hanya bergema pada Ramadlan saja. Setelah Ramadlan kembali kikir, mangumbar aurat (yang wanita), sombong dan sebagainya.

Dengan nama Allah Yang Maha Segalanya, ketahuilah!!!, bahwa kebaikan yang semu yang kita lakukan pada Ramadlan tidak sedikitpun bisa menipu Allah. Allah Maha Tahu setiap detak jantung dan getar qalbu. Ibadah Ramadlan yang dilakukan karena tradisi bukan karena kejujuran kepada Allah, ganjarannya seperti debu yang ditumpuk di atas batu licin, ketika datang angin dan hujan debu itu tersapu bersih—sia-sia.


Wallahu A’lam.
 
Top